12.11.10

Cerita (1-5)

Anda mencondongkan badannya ke depan, bermaksud mendahului Rini untuk membukakan pintu cafe. Tangan kirinya mendorong pintu cafe ke arah luar, sementara tangan kanannya mempersilakan Rini untuk keluar terlebih dahulu.

"Thank you, Nda," kata Rini sambil kemudian terlebih dahulu keluar dari cafe.

Anda hanya menyunggingkan bibirnya sedikit. Setelah dirinya melangkah keluar dari tempat kerjanya, ia berjalan ke arah tempat parkir motor. Tangan kirinya merogoh saku celana jeans-nya, mengeluarkan kunci motor. Namun, ia mengurungkan niatnya untuk mengajak Rini berjalan-jalan dengan motornya. Tatapan matanya tetap mengarah ke depan.

Sementara itu, Rini mengikutinya dari belakang. Dirinya bertanya di dalam hati, "Gue baru aja kenal sama cowok ini. Tapi kenapa gue mau aja, ya, diajak dia jalan-jalan?"

Rini merasa heran dengan dirinya sendiri. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa ia mengiyakan ajakan Anda. Ia juga heran dengan cara Anda yang sedikit banyak mampu mencairkan kebekuan hatinya setelah apa yang diperbuat Ali seminggu yang lalu. Baru mengenalnya beberapa jam saja, Rini sudah merasakan kenyamanan saat berada di dekat Anda.

Lebih kurang lima menit lamanya Rini dan Anda melangkahkan kaki mereka dalam diam. Keduanya berjalan menyusuri deretan bangunan ruko yang berjejer di sepanjang jalan itu. Sinar mentari senja yang mengintip malu-malu dari sela-sela bangunan pun tak sanggup meredakan kesunyian yang tercipat di antara Rini dan Anda.

Anda, seperti biasa, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana jeans-nya. Pandangannya menelusuri sekitarnya sambil sesekali melirikkan matanya ke arah Rini. Sesekali pula terdengar siulan lagu-lagu kesukaannya dari mulutnya. Yang sebenarnya terjadi ialah Anda merasa grogi. Tak biasanya ia ditemani berjalan-jalan seperti saat ini. Oleh seorang perempuan pula.

Sementara itu, Rini bersikap lebih santai. Kedua belah tangannya tertangkup di depan perutnya. Pandangannya lebih mengarah ke deretan bangunan ruko di sekelilingnya. Tampak jelas dirinya begitu mengagumi bangunan-bangunan tersebut. Baru disadarinya bahwa selama ini ia tidak pernah sempat mengagumi kekokohan dan keunikan bangunan ruko-ruko di tempat itu. Arsitektur bangunan-bangunan itu memang menyerupai rumah-rumah yang dibangun pada masa kompeni Belanda masih meraja lela di Indonesia. Bahkan pintu-pintu dan kusen jendela-jendelanya pun masih menggunakan gaya arsitektur lama tersebut.

Anda mencoba membuka percakapan, "Kamu suka, ya, dengan bangunan-bangunan ini?"

Rini menoleh ke arah Anda sebelum menjawab, kemudian tersenyum. "Ayah saya arsitek, Nda," jawabnya. "Di rumah banyak banget buku-buku arsitektur gambar-gambar rumah, kebanyakan arsitektur gaya lama. Aku suka banget ngeliatin gambar rumah-rumah itu. Kesannya lebih anggun, tapi ga berarti lemah, tetap diiringi kekokohannya."

Anda pun menambahkan di dalam hati, "Ya, seanggun kamu, Rin. Kalau saja..."

"Kenapa kamu suka jalan-jalan di sini, Nda?" Rini bertanya pada Anda tiba-tiba.

Anda sedikit terkejut dengan pertanyaan Rini itu. Lamunannya buyar seketika. "Yaa.. ga jauh beda sama kamu, Rin. Kalau udah ngeliat bangunan-bangunan ini, pikiran aku biasanya langsung seger. Emang bangunannya indah banget."

"Ga heran kalau banyak orang yang suka ngabisin waktunya di sini, Nda," lanjut Rini.

Percakapan yang panjang terjalin di antara mereka. Sampai-sampai Anda lupa bahwa jam kerjanya belum usai. Ia masih harus kembali ke cafe dan melanjutkan pekerjaannya, setidaknya hingga 1 - 2 jam ke depan.

"Rin," kata Anda, "aku harus balik ke cafe. Nanti bisa-bisa bos aku ngomel-ngomel ke Aan kenapa aku ga balik-balik." Kalimat terakhir ini diakhiri Anda dengan senyuman yang memamerkan deretan giginya yang putih bersih dan rapi.

"Ga kerasa, Nda," Rini menanggapi Anda sambil melihat ke arah jam tangannya. "Sudah hampir Maghrib ternyata. Aku juga udah harus pulang ke rumah kalau ga mau ibuku khawatir."

"Rumah kamu di mana?" tanya Anda. "Saya anter kamu dulu aja sebelum balik ke cafe."

"Ga usah, Nda," sanggah Rini. "Rumah saya deket, kok, dari sini. Tinggal naik angkot sekali jalan." Telunjuk kanan Rini menunjuk satu angkutan umum yang sedang berhenti di depan halte menunggu penumpang.

"Ya udah," Anda berkata. "Saya balik duluan, ya, kalau gitu. Hati-hati, ya, Rin."

Rini tersenyum. "Thanks, Nda, udah mau nemenin saya."

"Sama-sama, Rin," Anda pun tersenyum, kemudian berjalan berbalik arah menuju ke cafe-nya.

Sementara itu, lama Rini memperhatikan Anda hingga ia tidak bisa lagi melihat sosoknya. Dalam lubuk hatinya, terdapat secercah harapan bahwa ia akan dapat bertemu dengan lelaki itu lagi. Setelah yakin bahwa ia sudah tidak dapat menangkap sosok Anda, barulah ia kemudian berjalan menuju angkutan umum di depan halte. Hatinya pun sudah bisa tersenyum kembali.

Bersambung