26.7.09

Antara Tanggung Jawab Moral dan Harga Diri

Sudah kurang lebih 1 bulan belakangan ini saya ikut kursus Bahasa Inggris conversation (lagi) di daerah tempat saya bekerja. Walaupun tidak murni native speaker, tapi diusahakan kalau sedang berada di dalam kelas, semuanya berbicara dengan Bahasa Inggris. Tidak peduli kalau bahasanya berlepotan acak adul tidak jelas. Yang penting adalah keberanian buat berbicara Bahasa Inggris itu sendiri, tata bahasa nomor kesekian kepentingannya. Namun, saya tidak akan membahas kegiatan kursus ini secra panjang lebar. Mungkin di lain waktu.

Suatu saat di kelas kami diadakan sebuah diskusi. Temanya cukup menarik : "cheating". Yang dimaksud cheating di sini ialah mencontek pekerjaan orang lain dalam suatu ujian. Hampir semua sepakat bahwa mencontek ialah suatu perbuatan yang negatif. Namun, tidak ada yang memungkiri bahwa mereka semua tidak pernah melakukannya ketika mereka sedang ujian, termasuk saya sendiri.

Apa alasan seseorang mencontek. Lagi-lagi hampir semuanya sepakat bahwa mereka mencontek agar dapat memperoleh hasil ujian yang baik. Jika tujuannya adalah positif, mengapa mencontek dikatakan negatif? Satu, mencontek mengindikasikan seseorang tidak mempersiapkan dirinya sebaik mungkin untuk menghadapi ujian, mungkin bisa juga dikatakan malas. Orang yang sudah siap mencontek otomatis sudah siap untuk tidak belajar. Mengapa? Karena dengan harapan rencana menconteknya berjalan dengan lancar, ia sudah akan dapat memperoleh hasil ujian yang baik. Jadi, untuk apa belajar? Dua, mencontek juga mengindikasikan seseorang tidak percaya akan kemampuan dirinya sendiri. Sangat mungkin terjadi seseorang yang telah belajar sebelumnya mencontek hasil pekerjaan rekannya karena ia tidak yakin dengan jawabannya sendiri. Padahal, belum tentu juga jawaban yang diconteknya itu benar.


Kemudian, ketika para peserta ditanya kapan mereka mencontek atau kondisi apa yang menyebabkan mereka mencontek? Rata-rata jawaban para peserta hampir sama. Ketika mereka merasa kepepet, dalam artian mereka sangat membutuhkan nilai yang sangat bagus, tapi di sisi lain mereka tidak dapat menjawab soal yang diujikan dengan sempurna. Wajar? Mungkin. Perlu? Relatif. Mengapa? Demi seonggok harga diri. Harga diri?

Apakah suatu diri dikatakan lebih berharga ketika ia dapat memperoleh hasil yang baik dalam ujian yang ditempuhnya? Jelas. Apakah berhak pula dihargai lebih ketika proses untuk memperoleh hasil yang baik itu tidak baik? Tentu tidak. Lantas, mengapa masih banyak orang yang melakukannya? Mungkin karena orang-orang itu masih belum memiliki keberanian untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Apa hubungannya?

Jelas ada suatu korelasi antara mencontek dengan tanggung jawab, walaupun mungkin belum pernah ada pembuktian secara statistik apakah korelasi tersebut bernilai positif atau negatif. Namun, sebagian besar peserta pada waktu itu sepakat bahwa mencontek adalah suatu perbuatan yang tidak bertanggung jawab. Mengapa demikian? Orang yang mencontek, terlepas dari apa alasan ia melakukannya, tidak pernah akan bisa membuktikan apa sebenarnya jawaban dari soal yang diujikan. Lha wong jawabannya saja ia tidak tahu. Dengan kata lain, ia seharusnya tidak bisa mempertanggungjawabkan hasil baik yang dicapainya. Apakah ini yang dikatakan orang yang bermoral?

Dalam diskusi ini, para peserta juga diingatkan kembali bahwa untuk beberapa kondisi, seorang guru bahkan mendukung dunia percontekan ini. Malah hal ini dilakukan ketika murid didiknya sedang melakukan ujian nasional. Mengapa? Agar rating sekolah tetap tinggi di mata masyarakat. Untuk apa? Agar masih tetap akan banyak calon murid yang ingin bersekolah di sekolah yang dianggap favorit itu. Berarti guru-guru itu tidak bermoral? Tentu saja. Lantas, mengapa ini dibiarkan? Lingkaran setan dunia pendidikankah? Mungkin.

Saya bukannya mau bersikap munafik dengan menjelek-jelekkan kegiatan mencontek, sementara saya sendiri pernah terlibat di dalamnya, baik sebaik pelaku maupun yang memberi jawaban. Namun, ada baiknya agar kegiatan ini tidak berlanjut hingga menjadi sebuah budaya, khususnya di dunia pendidikan. Tidak perlu lah kita selalu mencontek dalam setiap ujian. Atau mungkin perlu dibuat Undang Undang Khusus menyangkut kegiatan percontekan? Jangan sampai. Yang paling penting adalah bagaimana caranya menumbuhkan kesadaran dalam diri setiap orang bahwa segala sesuatu yang dilakukannya perlu dilakukan dengan usahanya sendiri dan ia harus mempercayai kemampuan dirinya sendiri. Jika mencontek telah menjadi budaya, mau ditaruh di mana muka kita di masyarakat dunia ini? Berlebihankah saya? Mungkin. Hahaha!