1.12.09

Kegalauan Sang Raga

Kala raga menyatu dengan hiruk pikuk keramaian
Namun sang raga tak bergeming dari kesendiriannya
Salah tempatkah sang raga?
Atau salah sang keramaian karena egois tak berempati?

Kala raga menyendiri dalam kesunyian
Namun lubuk hatinya tak juga merasakan ketenangan
Salah tempatkah sang raga?
Atau salah sang kesunyian karena tak sanggup menentramkan?

Kala raga melangkahkan diri dalam kelurusan
Namun jiwa sang raga tetap merasa berlekuk
Salahkah tingkah dan laku sang raga?
Atau salah sang kelurusan karena tak dapat meluruskan jiwanya?

Ada apakah dengan sang raga?
Apa salah sang raga
Hingga ia tak pernah bisa merasa tepat?

25.10.09

Alhamdulillah.. Masih Ada Orang Baik..

Tempat kerja saya yang jauh dari rumah tinggal menuntut saya untuk kos di dekat kantor. Alhasil, tiap akhir minggu wajib hukumnya bagi saya untuk pulang ke rumah. Kalau tidak, ibu saya pasti akan protes (saya membayangkan wajahnya yang bersungut-sungut ketika kami berdua sedang berbincang melalui jaringan telepon).

Jadi, setiap Senin pagi setelah menunaikan shalat Subuh, saya langsung menjejakkan kaki meninggalkan rumah demi mengejar bis kedua dari arah Blok M ke daerah Cikarang, syukur-syukur malah bila bisa duduk diam di atas bis pertama. Kalau saya sudah mendapat bis yang ketiga, saya bisa masuk kerja sekitar setengah jam lebih lama dibandingkan jika saya bisa memperoleh bis pertama atau kedua.

Dalam perjalanan ke Cikarang, baik sejak dari arah rumah ataupun sejak dari Blok M, kadang-kadang saya ditemani oleh seorang bapak yang kebetulan juga mengalami nasib seperti saya. Ia juga kerja di daerah Cikarang dan kos di sana, untuk kemudian setiap akhir minggu pulang ke rumah. Yang membedakan kami berdua hanyalah masalah keberuntungan. Saya beruntung bekerja sebagai pegawai biasa, sementara sang bapak bekerja sebagai pengemudi truk yang harus mengantarkan barang-barang pesanan pelanggan perusahaan tempatnya bekerja.

Saya seringkali mengobrol ngalor ngidul kalau bertemu dengan sang bapak (bodohnya saya tidak pernah menanyakan nama beliau sejak kami bertemu hingga saat ini). Sampai-sampai rasa kantuk saya hilang karena keasyikan mengobrol sepanjang perjalanan. Yang menjadi bahan obrolan pun macam-macam. Bisa tentang sepak bola, keluarganya, tempat kerja kami berdua, dan lain sebagainya.

Namun, ada satu hal yang menyebabkan saya merasa malu. Dalam sekian banyak pertemuan kami berdua di atas kendaraan yang membawa kami ke Cikarang, bisa dihitung dengan jari kedua tangan berapa kali saya mentraktir sang bapak membayar ongkos angkutan umum yang kami tumpangi. Padahal, seringkali saya yang terlebih dahulu merogoh kantung celana dan mengambil lembaran uang untuk membayar ongkos angkutan kami. Namun, dia tidak pernah menghendaki saya untuk membayari dirinya. Selalu sang bapak langsung memberika ongkos angkutan itu lebih dahulu kepada sang kondektur bis. Saya hanya bisa tersenyum dan tertunduk malu.

Pernah saya setengah memaksa untuk membayar ongkos saya sendiri (pada waktu itu uang saya memang hanya cukup untuk membayar bis dan ongkos ojek ke tempat kos, jadi saya tidak menawarkan untuk mentraktirnya). Sang bapak tetap menolak. Dia pernah mengatakan demikian, "Ga apa-apa, Mba. Nanti kalau Mba ada rejeki biar inget sama saya." Saya hanya bisa membatin dalam hati, "Amiiiin.."

Saya bersyukur, masih ada orang baik yang dengan ikhlas menolong orang lain. Padahal, mungkin orang lain itu tergolong lebih mampu daripada dirinya. Ya Allah, hamba mohon agar Engkau melimpahkan rahmat dan rezeki-Mu kepada sang bapak yang telah banyak menolong saya itu. Amiin..

Semoga kisah ini dapat menjadi inspirasi bagi kita semua untuk dapat bersikap baik terhadap sesama, tanpa terlebih dahulu beranggapan buruk terhadap mereka..

25.9.09

Kemelut Di Dunia Kerja

Beberapa waktu lalu, seorang teman curhat ke saya tentang kondisi di tempat kerjanya. Ia bekerja di salah satu perusahaan ternama di pusat ibukota. Dia bercerita bahwa ada salah satu divisi di kantornya yang memiliki tingkat turnover pegawai yang cukup tinggi. Mengapa demikian? Karena dalam setahun bisa paling terjadi satu kali turnover. Selain itu, dari sekian banyak para calon pegawai tetap di divisi tersebut, hanya beberapa orang saja yang dapat lolos dari lubang jarum.

Kondisi tersebut membuat teman saya bertanya-tanya, memangnya sebegitu susahkah bekerja di divisi tersebut? Mengapa tingkat turnover-nya sangat tinggi jika dibandingkan dengan divisi lainnya? Mungkinkah bukan karena faktor beban kerja? Misalnya karena lingkungan kerja atau malah faktor atasan?

Saya jadi berpikir, mungkin inilah beberapa sisi kekurangan dari bekerja di tempat orang lain. Seseorang yang bekerja di suatu tempat yang bukan miliknya sendiri mau tidak mau harus tunduk pada atasannya. Selain itu, terkadang ia juga tidak dapat bekerja secara fleksibel akibat terbentur oleh aturan-aturan tertentu, bahkan malah terbentur oleh kepentingan-kepentingan pihak tertentu, di kantor tersebut. Kondisi ini menyebabkan ia kadang tidak bisa bebas berkreasi sesuai dengan kehendaknya.

Pada waktu itu, teman saya juga bercerita bahwa dia sering mendengar keluhan para pegawai perusahaan mengenai divisi tersebut. Beberapa kalimat inilah contohnya:
  1. Diucapkan dengan mimik muka sedikit mencibir, "Oo.. divisi X ya? Gimana di sana? Betah?"
  2. Diucapkan dengan nada sinis, "Kalau di divisi x mah, saya ga akan pernah pulang tenggo."
  3. Diucapkan sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Bosnya aja yang orangnya susah."

Kalimat pertama berkaitan dengan lingkungan kerja. Tidak bisa dipungkiri memang bahwa lingkungan kerja menjadi salah satu faktor kuat yang berpengaruh pada betah atau tidaknya seseorang bekerja di suatu tempat. Lingkungan kerja di sini lebih dikaitkan dengan partner kerja kita yang berada dalam satu divisi. Agar dapat mendukung kinerja seseorang dalam suatu perusahaan, diperlukan adanya partner kerja yang "enak". Enak dalam kerja sama tim, saling percaya dan memberikan dukungan satu sama lain, enak dijadikan teman curhat (ini tentatif sifatnya). Kalau lingkungan kerja dalam suatu perusahaan nyaman, dijamin seorang pegawai akan betah bekerja di tempat tersebut. Namun, sepertinya hal ini hanya berlaku untuk pegawai yang memiliki kebutuhan sosial yang cukup tinggi. Akan berbeda halnya dengan pegawai yang bertipe nonsosial.

Faktor lainnya yang tercermin pada kalimat kedua ialah beban kerja. Setiap divisi dalam suatu perusahaan memiliki beban kerja yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ketika telah tiba waktunya untuk pulang, para pegawai Divisi A tidak akan menyisakan satu pun pegawainya di perusahaan, tapi sebaliknya para pegawai Divisi B masih lengkap berada di tempat kerjanya masing-masing. Untuk orang yang sudah terbiasa dengan beban kerja yang tinggi, apalagi masih menyandang status single, tentu tidak terlalu bermasalah jika ia "diharuskan" pulang malam atau mungkin bekerja di luar jam kantor normal. Namun, hal ini tentu tidak akan berlaku untuk para pegawai yang telah berkeluarga misalnya, walaupun belum tentu juga demikian. Intinya, untuk faktor ini sifatnya lebih relatif untuk setiap orang dibandingkan faktor pertama.

Lain lagi dengan faktor ketiga, atasan. Setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda. Bahkan untuk orang yang sama pun, bisa jadi akan memiliki karakter yang berbeda antara ketika dia masih menjadi pegawai biasa dengan ketika dia telah memiliki bawahan. Ada tipe atasan yang membebaskan setiap bawahannya dalam bekerja. Ia mempercayai segala hal yang dilakukan oleh bawahannya selama mereka dapat mempertanggungjawabkannya. Ada juga tipe atasan yang seakan-akan selalu menyebabkan atmosfir emosi di divisinya meningkatkan, alias selalu mengeluarkan omelan kepada bawahannya. Apa yang dilakukan oleh bawahannya seakan-akan selalu ada yang dirasa kurang tepat menurutnya.

Para pegawai yang memiliki atasan dengan tipe pertama akan merasa lebih enjoy dalam bekerja. Namun, tipe atasan seperti ini akan kurang sesuai untuk orang yang cenderung santai karena bisa jadi ia jarang melakukan sesuatu yang "lebih" dari yang seharusnya. Buat apa? Toh dengan yang biasa-biasa saja, si boss tidak pernah complain.

Lain halnya dengan para pegawai yang memiliki tipe atasan yang kedua. Para atasan dengan tipe seperti ini kemungkinan hanya akan cocok dengan tipe pegawai yang cenderung cuek. Yang dimaksud cuek di sini ialah memasukkan semua omelan ke telinga kiri dan tanpa difilter ladi langsung dikeluarkan dari telingan kanan. Kalau yang terjadi adalah sebaliknya, pegawai tersebut mungkin akan merasa bahwa dirinya kurang dihargai karena apa yang dilakukannya selalu salah di mata atasannya. Pembunuhan karakter? Mungkin istilah tersebut bisa digunakan.

Kemudian, teman saya juga bercerita tentang perbincangannya dengan mantan pegawai yang pernah bekerja di divisi tersebut. Sebut saja X. X merasa bahwa ketika dia berada di divisi itu, bukan faktor beban kerja ataupun lingkungan kerja yang mengakibatkan dirinya hengkang dari perusahaan tersebut, melainkan lebih kepada faktor ketiga. Menurut teman saya, memang X ialah orang yang sedikit keras kepala dan sangat percaya diri. Hal ini sedikit banyak mirip dengan karakter atasannya. Mungkin karena adanya perbenturan karakter inilah timbul friksi antara sang atasan dengan X.

Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda lebih suka kerja sendiri atau dengan orang lain? Kalau bekerja di bawah ketiak orang lain, apakah ketiga faktor tersebut menjadi pertimbangan Anda juga dalam menentukan betah tidaknya Anda bekerja di tempat tersebut? Silakan kalau Anda ingin berkomentar.

22.8.09

Hampa

(Karangan ini ditemukan tepat sehari menjelang Bulan Ramadhan tiba, di sebuah kamar kurang lebih berukuran 3 x 4 meter persegi, di malam hari.)

Hampa ialah ketika mata memandang gelap gulita
Hampa ialah ketika telinga terbungkam kesunyian
Hampa ialah ketika raga tak sejalan dengan alam pikiran
Hampa ialah ketika alam pikiran tak selaras dengan hati nurani
Hampa ialah ketika seseorang lupa akan tujuan hidupnya di dunia
Hampa ialah ketika seseorang lupa pada Sang Maha Kuasa

Bilamana hampa pergi?
Tatkala seseorang mulai kembali bersembah sujud kepada Sang Pencipta
Tatkala Sang Maha Memberi menganugerahkan hidayahnya
Tatkala firman-firman Sang Maha Tahu kembali meresap dalam sanubari
Tatkala dengan hati nuraninya, seseorang dapat kembali menyelaraskan alam pikiran dan raganya
Hingga tatkala seseorang dapat membuka mata, hati, dan telinganya
Untuk kemudian mengabdi kepada Tuhan, bangsa, dan negaranya

26.7.09

Antara Tanggung Jawab Moral dan Harga Diri

Sudah kurang lebih 1 bulan belakangan ini saya ikut kursus Bahasa Inggris conversation (lagi) di daerah tempat saya bekerja. Walaupun tidak murni native speaker, tapi diusahakan kalau sedang berada di dalam kelas, semuanya berbicara dengan Bahasa Inggris. Tidak peduli kalau bahasanya berlepotan acak adul tidak jelas. Yang penting adalah keberanian buat berbicara Bahasa Inggris itu sendiri, tata bahasa nomor kesekian kepentingannya. Namun, saya tidak akan membahas kegiatan kursus ini secra panjang lebar. Mungkin di lain waktu.

Suatu saat di kelas kami diadakan sebuah diskusi. Temanya cukup menarik : "cheating". Yang dimaksud cheating di sini ialah mencontek pekerjaan orang lain dalam suatu ujian. Hampir semua sepakat bahwa mencontek ialah suatu perbuatan yang negatif. Namun, tidak ada yang memungkiri bahwa mereka semua tidak pernah melakukannya ketika mereka sedang ujian, termasuk saya sendiri.

Apa alasan seseorang mencontek. Lagi-lagi hampir semuanya sepakat bahwa mereka mencontek agar dapat memperoleh hasil ujian yang baik. Jika tujuannya adalah positif, mengapa mencontek dikatakan negatif? Satu, mencontek mengindikasikan seseorang tidak mempersiapkan dirinya sebaik mungkin untuk menghadapi ujian, mungkin bisa juga dikatakan malas. Orang yang sudah siap mencontek otomatis sudah siap untuk tidak belajar. Mengapa? Karena dengan harapan rencana menconteknya berjalan dengan lancar, ia sudah akan dapat memperoleh hasil ujian yang baik. Jadi, untuk apa belajar? Dua, mencontek juga mengindikasikan seseorang tidak percaya akan kemampuan dirinya sendiri. Sangat mungkin terjadi seseorang yang telah belajar sebelumnya mencontek hasil pekerjaan rekannya karena ia tidak yakin dengan jawabannya sendiri. Padahal, belum tentu juga jawaban yang diconteknya itu benar.


Kemudian, ketika para peserta ditanya kapan mereka mencontek atau kondisi apa yang menyebabkan mereka mencontek? Rata-rata jawaban para peserta hampir sama. Ketika mereka merasa kepepet, dalam artian mereka sangat membutuhkan nilai yang sangat bagus, tapi di sisi lain mereka tidak dapat menjawab soal yang diujikan dengan sempurna. Wajar? Mungkin. Perlu? Relatif. Mengapa? Demi seonggok harga diri. Harga diri?

Apakah suatu diri dikatakan lebih berharga ketika ia dapat memperoleh hasil yang baik dalam ujian yang ditempuhnya? Jelas. Apakah berhak pula dihargai lebih ketika proses untuk memperoleh hasil yang baik itu tidak baik? Tentu tidak. Lantas, mengapa masih banyak orang yang melakukannya? Mungkin karena orang-orang itu masih belum memiliki keberanian untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Apa hubungannya?

Jelas ada suatu korelasi antara mencontek dengan tanggung jawab, walaupun mungkin belum pernah ada pembuktian secara statistik apakah korelasi tersebut bernilai positif atau negatif. Namun, sebagian besar peserta pada waktu itu sepakat bahwa mencontek adalah suatu perbuatan yang tidak bertanggung jawab. Mengapa demikian? Orang yang mencontek, terlepas dari apa alasan ia melakukannya, tidak pernah akan bisa membuktikan apa sebenarnya jawaban dari soal yang diujikan. Lha wong jawabannya saja ia tidak tahu. Dengan kata lain, ia seharusnya tidak bisa mempertanggungjawabkan hasil baik yang dicapainya. Apakah ini yang dikatakan orang yang bermoral?

Dalam diskusi ini, para peserta juga diingatkan kembali bahwa untuk beberapa kondisi, seorang guru bahkan mendukung dunia percontekan ini. Malah hal ini dilakukan ketika murid didiknya sedang melakukan ujian nasional. Mengapa? Agar rating sekolah tetap tinggi di mata masyarakat. Untuk apa? Agar masih tetap akan banyak calon murid yang ingin bersekolah di sekolah yang dianggap favorit itu. Berarti guru-guru itu tidak bermoral? Tentu saja. Lantas, mengapa ini dibiarkan? Lingkaran setan dunia pendidikankah? Mungkin.

Saya bukannya mau bersikap munafik dengan menjelek-jelekkan kegiatan mencontek, sementara saya sendiri pernah terlibat di dalamnya, baik sebaik pelaku maupun yang memberi jawaban. Namun, ada baiknya agar kegiatan ini tidak berlanjut hingga menjadi sebuah budaya, khususnya di dunia pendidikan. Tidak perlu lah kita selalu mencontek dalam setiap ujian. Atau mungkin perlu dibuat Undang Undang Khusus menyangkut kegiatan percontekan? Jangan sampai. Yang paling penting adalah bagaimana caranya menumbuhkan kesadaran dalam diri setiap orang bahwa segala sesuatu yang dilakukannya perlu dilakukan dengan usahanya sendiri dan ia harus mempercayai kemampuan dirinya sendiri. Jika mencontek telah menjadi budaya, mau ditaruh di mana muka kita di masyarakat dunia ini? Berlebihankah saya? Mungkin. Hahaha!

31.5.09

A Lesson From Two Boxes With A Louse Each In Them

One day, a father gave his son two boxes with different size. Each box contained a louse. The width of both boxes were about the same. The difference was at their height.

"Son, I have presents for you," he said.

The boy asked back his father, "What are these, Dad?"

"Open them by yourself, Son."

The boy opened one of the boxes, the higher one. When he saw the inside of it, he was a little surprised.

"Dad," the boy said to his father, "It's just a louse."

The father smiled at him. "C'mon!" he said to his son. "Let's go to the garden. Bring the boxes with you."

They walked side by side to the garden. The boy brought the boxes by his hands, each box on each hand. His father was still smiling at his son.

When the reached the garden, the father sat on a chair. He said to his son, "Come here, Son!"

The boy approached his father, then he sat on the grass.

The father said, "Open the boxes! Let the louses come out."

The boy then opened the higher box first and let the louse jumped out from the box. A few seconds later, he opened the other box and let the louse came out too. He watched the louses jumped.

For a moment, the boy didn't see anything unusual. But not more than 5 minutes, he noticed something which caught his interest.

The boy asked his father, "Dad, why was the height the louses jump different? The one is higher than another?"

The father laughed and then said, "I was right when I thought you will notice the difference this fast."

The boy's face seemed more confuse than before.

"Okay," the father started his explanation. "The louse that jumps higher must came from the higher box, while the other came from the lower one."

The boy asked his father again, "So this is caused by the box height?"

"You are correct, Son."

The boy looked like he was thinking of something. A moment later, he flicked his fingers.

"I know, Dad," the boy said to his father with his funny smiling face. "The height of the boxes creates a limitation for the louses. If I get the heigher louse into the lower box and I let it be for a while, when I let it out, it will jump as high as the other."

"Great, Son. Don't set a limitation on yourself. Let your dreams and creativity get higher and higher."

The boy hugged his father and said, "Thank you very much, Dad."

The father hugged his son back.

10.5.09

Politik Indonesia

Saya bukan orang yang 'melek' politik Indonesia. Padahal, harusnya saya peduli karena hal ini terjadi di negara saya sendiri. Tapi nyatanya saya memang ga terlalu tertarik dengan hal-hal yang berbau politik. Sayangnya, deadline yang lagi happening banget saat ini berhubungan dengan politik. Jadi, saya ga tahan juga untuk ga komentar.

Pertama, kasus dugaan keterlibatan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar dalam pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, kalau ga salah sekitar Maret lalu. Pendapat saya sederhana aja. Saya ga yakin kalau Antasari terlibat. Kenapa? Dengan kecanggihan lembaga KPK yang cukup berhasil membongkar beberapa kasus korupsi kelas kakap, masa iya KPK ga bisa mendeteksi keterlibatannya sejak awal? Kalau dibilang KPK mentutup-tutupi hal ini, kayanya ga mungkin juga. Kalau hal ini terjadi, berarti memang sudah ga ada lagi lembaga yang dapat dipercaya untuk menyelesaikan berbagai kasus korupsi di Indonesia. Dengan kata lain, kita memang harus mengakui bahwa negara ini memang masih bobrok dari segi hukum dan pemerintahan. Hal ini berarti juga kampanye yang selama ini didengung-dengungkan oleh SBY dan Partai Demokrat (yang inti iklannya kurang lebih ialah di zaman pemerintahan SBY, korupsi dapat diberantas) kurang tepat.

Saya (dan mungkin beberapa orang lainnya) jadi sedikit curiga ada permainan politik di sini. Bukan politik yang berkaitan dengan partai, tetapi politik untuk menjegal seseorang yang tidak sesuai dengan keinginan mereka agar orang tersebut tidak lagi 'mengganggu' kegiatan mereka. Kita semua tau bagaimana kinerja KPK hingga saat ini. Mungkin ada orang-orang tertentu yang takut kesalahan mereka tercium oleh KPK. Jadilah mereka memunculkan skenarion untuk melenyapkan Antasari. Semoga hal ini salah. Lantas jika salah, bagaimana yang benarnya? Kita ikutin ajalah perkembangan selanjutnya.

Kedua, proses Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif yang hasil perhitungan suaranya telah diumumkan tadi malam. Dalam proses pengumuman semalam, ada beberapa catatan yang perlu digarisbawahi, kalau perlu ditulis tebal dan diberi tanda kutip. Dari sekian banyak warga Indonesia yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), hampir 30% ga menggunakan hak pilihnya. Saya memang ga tau peraturan yang berkaitan dengan proses Pemilu ini. Tetapi, kalau nyaris 1/3 dari warga yang terdaftar saja tidak memilih, apakah hasil dari Pemilu Legislatif ini dapat dikatakan valid? Memang tidak akan mungkin jika Pemilu Legislatif ini dilakukan lagi mulai dari proses pencontrengan hingga rekapitulasinya karena pasti akan sangat menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya. Semoga hal ini bisa menjadi koreksi untuk Pemilu yang akan datang. Agar paling tidak jumlah populasi Golongan Putih (Golput : warga yang terdaftar dalam DPT tetapi tidak ikut memilih) dapat ditekan. Agar tidak ada lagi Kongres Golput yang diketuai oleh Sri Bintang Pamungkas.

Untuk Indonesia yang Lebih Baik!!!

3.5.09

Between "Do What You Love" and "Love What You Do"

This post is inspired by my friend's post (unfortunately I forget the person who wrote the post).

"Do what you love". Everybody usually picks this quote, right? Even sometimes it's not possible, but who doesn't want to only do what he/she loves? When you do something that you love, you will do it with full of passion and give all your effort to achieve the optimum result. Sometimes you won't mind to do it again.

Why do I say that? Because sometimes I experience it too. For example, when I took part in a sport team, either futsal or basketball, I always feel great. I even don't mind to delay another activity, so I can do it for as long as I want. Not to mean that I don't give a damn to another activity. I just don't want to miss a thing that I love. Heheheh..

But I don't blame people who prefer the quote "Love what you do". There are more challenges when you have to do what you don't really love. Why is that? Because you will need to push yourself harder in order to get great result as you expect. But I'm sure that when you are able to achieve great result in things you don't really love but you have to do, you will be more delightful. Am I right?

In reality, there's no possibility to choose one quote only. There will be things that we love to do and things that we don't really love but have to be done. We may do what we love, but we too have to love what we do. So, despite of what is your choice between both quotes, let's always give our best effort in everything we do. Insya Allah, when there's a God's will, we will be able to achieve great results too. Just keep trying and praying for the best.

12.4.09

When A Will Comes ...

When there's a will ...
Will you put it into reality?
If the anwer is yes ...
Have you ever consider it before, for a long time?
What are the things that you usually consider when the will comes?
Would it be questions like ...
Is it that important?
Is it what you need?
What will be the benefits?
How much will it cost?

Don't bother. The above writing are just unroutine questions when I'm very confused of some silly (or perhaps not?) things.

HAHAHAHA!

27.3.09

Some Thoughts About Children

One day, my aunt and I were talking about dolls which is produced by PTMI, the company where I'm working now. The dolls are distributed out from Indonesia. Even in here you will find dolls which are produced in Indonesia, the quantity is not as many as the export one. Then, at that time we concluded that the dolls are not so happening here.

Then, we were thinking about what I will tell you next. If the dolls are not happening in Indonesia, then what toy does girls in Indonesia always play with? Cooking set toys? Nope. I think children at this time, including girls, like to play computer games or other electronic games like PS3, XBox, etc. rather than games or toys that can make them interact with each other. That's not a good sign.

Here is my opinion about why it can be happened? First, electronic games are much more interactive than dolls. Playing with electronic games gives the player feedbacks, so that the players can then act based on those feedbacks. When children plays with dolls, the dolls can't give them that kind of feedback. A doll is a passive toy.

Second, a doll's price is sometimes as worth as 3 times dishes, even more than that. Why is the price so high? It can be happened because of some reasons, like the making process complexity (now I can imagine since I work in a doll manufacturer) and the distribution cost (especially when the dolls are imported).

Third, the residence where the children are living doesn't provide any place to play with each other. What I mean here is like a play court, where children can meet with each other and then play together. Rather than making a play court, the developers like to build shopping centre. Okay, sometimes there's a place like "Timezone", but it's definitely NOT a play court in a right definition (the phrase "right definition" doesn't sound good, anybody can help?).

Is this condition good for the children psychology? My aunt said NO, it's not. Children need to interact with each other. They need to learn to be with others, learn about someone else character, learn how their acts can give impacts to others, and many more. Others will give them feedbacks, so they can improve their action while interacting with each other in the next days.

So, what are the solutions? First, I think this is primary, all parents have to encourage their children to play with other children. It's okay if the children like to play with electronic games too, but sometimes they need to play with others. Take the children out to any play court, so they can meet another children and play together.

Second, for all developers, please kindly help these children. Build more play courts for them. It doesn't have to be a big one, but not too small too. And it doesn't have to be too many, but at least there's one play court in one residence.

Hope this post won't be just a post. Perhaps you, readers, have another perspectives. Please feel free to give some feedbacks.

21.3.09

A Little Conversation in A Restaurant

One day, when I was in a restaurant with my friend, Alfa, a boy worn a torn t-shirt and a dirty white short came to our table.

The boy upturned his hand and said, "Pity me..".

As usual, Alfa and I wave our hand as a sign of not wanting to give the boy our money. Fortunately, he urged us to give him a little money.

As a result, Alfa asked the boy while his finger pointed at the empty chair in front of him, "Would you care to sit with us here?".

Without long thoughts, the boy sat directly on tha chair pointed. His eyes were looking at his surroundings.
Read Alfa thoughts, I asked the boy his name, "What's you name, Kid?"

"Imam," the boy answered without looking at me nor Alfa.

"Hi, Imam!" I said to him. "Would you like to eat something?"

The boy didn't answer. He was still looking around, like someone being confused of something.

Alfa then called the waiter, "Sir, may we have another fried noodle for this boy?"

"Certainly," answered the waiter with a confusing look on his face.

The waiter then yelled at another waiter to bring the fried noodle to our table. Fortunately the food was ready to be served, so Imam didn't have to wait for too long.

While we were eating, Alfa and I had a little conversation with Imam.

Alfa : "So Imam, do you go to school?"
Imam : "Yes, every morning."
Me : "What grade are you?"
Imam : (scratching his head) "3th grade."
Alfa : "Why are you asking for someone else pity? Upturn your hand and hoping people to give you some money?"
Imam : (increasing his voice a little) "'Cause I don't like you two who have enough money even to buy me a plate of fried noodle. My Dad passed away a year ago. After that, my mom has to work, usually overtime, to get some money for me my little brother, so that we can go to school."
Me : (giving an angry look to Alfa) "We're sorry, Imam. We didn't mean to hurt your feeling."
Imam : (almost standing from his chair, angry) "Ah..! Then don't be. I know that most of the rich people like you two never care with people like me."
Me : (holding Imam's left hand) "Wait, Imam. We're really sorry."
Imam : (sitting again on his chair, continuing to eat his fried noodle) "Okay.."

There was a silent for a moment. Alfa and I took this moment to look closer at Imam, trying to read what's on his mind.

Imam : "My mom's earning can only make only myself go to school. So, I have to help her to pay for my brother's school activity. Walking around my neighborhood and pity myself to gain some money."
Alfa : "What do your mother do for living?"
Imam : (smiling to us) "She's a teacher."

Actually, the conversation was very long that I can't put it in here 'cause it will make you all feel bored. At the end, we did give him some money (big enough than the nominal we used to give to other poor people). Instead of making this post become longer and longer, there are things that I want to underline.

First, do we really care for our brothers and sisters, the same Indonesian people who perhaps not as lucky as we are? Honestly, I was surprised when Imam accused Alfa and I for not being that care to people like them. Okay, we feel pity when they ask us to give them money, but then what? What can we do to change their life? (Actually this question is for myself too.)

Second, do we do something wrong when we refuse to give some money to them when they ask for it? I know that the government gives us instruction not to give them some money. But in some cases, they do really need it at that time.
I leave the questions without being answered. It's you, dear readers, who really know what should we do on these matters.

21.2.09

"WorldWalk - Peacetour" Blog

Just found this fascinating blog. If you have a moment, kindly have a read through this link :

http://worldwalk-peacetour.blogspot.com/

15.2.09

Blackberry, Needs Or Wants?

Blackberry. Who doesn't know this stuff nowadays? Yes, it's a smart phone that enable its owner to be contacted anytime. This device is able to support many wireless information services, such as push e-mail, mobile telephone, text messaging, web browsing, etc. Blackberry is also completed with personal organizer application like calendar, to-do list, and address book.

The owner of this smart phone can send and receive e-mail anytime and anywhere. Of course this concludes the condition when the phone can access a wireles network of certain cellular phone carriers. That's why it seems like the owner can be contacted anytime and anywhere.

Blackberry is also completed with instant messaging application. With a Blackberry, the user can chat between each other via Yahoo Messenger, Google Talk, or Skype. This os why the user seems like he/she is always on line all the time.

In Indonesia, especially in Jakarta (I don't know with other cities), it's like almost everyone has a Blackberry. When you are in a shopping center, perhaps 2 of 5 people hold Blackberry on their hands. They don't even be bothered with their surroundings. Sometimes you will see them laughing by theirselves. No, they are not crazy. They are chatting with their friends via their Blackberry (what is the plural form of Blackberry actually? Blackberries?? Since I am confused, I'll use the single form).

What is Blackberry created for? First, it was made by RIM (Research In Motion, a Canadian company) by concentrating on e-mail. So, actually this smart phone is much more suitable for professionals or businessmen rather than, in example, for teenagers. But today, it seems like everyone in town can't be aparted from Blackberry. Even teenagers and housewives have Blackberry, without knowing what exactly all the capabilities this smart phone has. Having and using Blackberry become everyone's lifestyle. People suddenly become Blackberry addicts.

Actually, I don't feel bothered with this situation. But when I see people anywhere hold their Blackberry in their hand, only to chat with their friends, I start questioning myself, "Are they sick people? When are they going to enjoy life out there in the real world?"

This afternoon, in a family gathering, my family had a little discussion about Blackberry. My uncle said, "Indonesia is a poor country. But based on a research, a unit of Blackberry is sold in every minute."

Okay, I admit that I agree with what he said. The rich people become richer and the poor become the opposite. I wonder if the rich people have Blackberry, do they really need it? Have they ever thought about giving some of their belongings to the poor? Do they pay luxuriant taxes (if Blackberry can be concluded as a luxury thing)?

Even my cousin (I never thought she would say this) said, "Blackberry makes the people aparted become closer. But it also creates distances between people that are not too far away aparted."

Yep! This, I admit, is a fact too. When Blackberry becomes a lifestyle, the owner will usually use it for chatting with his/her friends anytime and anywhere. It won't be a problem if they chat with their colleagues or their aparted friends. But sometimes, when there's a gathering, and some of people in it have Blackberry, they still chat with others via Blackberry. Is that what you call a gathering, when everyone is busy with their Blackberry?

So, first, if you plan to buy a Blackberry, or other similar stuffs like IPhone and some Nokia N-series, you have to ask yourself, whether you really need this smart phone or you just envy your friends. Second, if you already have it, please use the device wisely (only when you need it) because it can make you a Blackberry addict, in a negative meaning.

1.2.09

Kisah Bu Rina, Rani, dan Mbok Inah

"Inaaaaaah!" Rani berteriak memanggil pembantu rumahnya yang sudah berusia paruh baya.

Mbok Inah yang sedang memasak di dapur ternyata tidak mendengar teriakan anak kecil berumur 6 tahun itu.

Tak lama kemudian Rani memanggil lagi, kali ini lebih kencang, "Inaaaaaaaaaaaaaaaah!"

Kali ini Mbok Inah mendengar Rani memanggilnya dan menyahut, "Iya, Neng.. sebentar."

Mbok Inah berlari tergopoh-gopoh menghampiri anak majikannya itu.

"Ada apa, toh, Neng?" Mbok Inah bertanya kepada Rani sambil tersenyum.

"Pakein sepatu!" Rani menyuruh Mbok Inah sambil berteriak.

"Iya, Neng," jawab Mbok Inah, masih dengan wajah tersenyum.

Dengan sabar, Mbok Inah memakaikan sepasang sepatu hitam bertali ke kedua kaki Rani yang tidak berhenti bergoyang. Ia tampak kesusahan mengikatkan tali sepatu itu dengan benar. Pekerjaan yang seharusnya dapat dilakukan tidak lebih dari 5 menit menjadi lebih lama 5 menit pula.

Karena tidak sabar, Rani pun menghardik Mbok Inah, "Lama banget, sih, Nah!"

Mbok Inah, masih berusaha tersenyum, menjawab, "Kalau kaki Neng Rani ga' goyang-goyang pasti bisa lebih cepet, deh."

Namun, bukannya berhenti, goyangan kaki Rani malah menjadi lebih kencang.

Melihat kejadian itu, Bu Rina menghampiri anak perempuannya dan Mbok Inah.

"Mbok," kata Bu Rina, "Sudah, Mbok, biar saya aja yang memakaikan sepatu Rani. Mbok lanjutin aja masak di dapurnya."

"Iya, Bu," jawab Mbok Inah patuh.

Bu Rina mendekati anak perempuan satu-satunya itu, kemudian duduk bersimpuh di depannya dan mulai membuat bentuk pita dari tali sepatu anaknya itu.

"Rani, di sekolah diajarin teriak-teriak ga sama bu guru?" tanya Bu Rina pada anaknya.

Rani menjawab pertanyaan ibunya, "Nggak, Bu."

"Terus, Rani belajar teriak-teriak kaya tadi dari mana kalau begitu?"

Ditanya seperti itu, Rani bukannya menjawab malah menundukkan kepalanya. Dalam hatinya langsung timbul rasa bersalah.

"Rani salah ya, Bu?" tanya Rani kemudian sambil tetap menundukkan kepalanya.

Bu Rina menyunggingkan bibirnya, kemudian berkata, "Rani, kalau memanggil orang lain itu harus sopan, apalagi orang yang lebih tua. Jangan teriak-teriak kaya tadi."

"Tapi tadi Inah, kan, nggak denger waktu Rani panggil."

"Tapi nggak berarti harus teriak-teriak, kan? Rani, kan, bisa nyamperin Mbok Inah ke dapur."

Kali ini Rani mendongakkan kepalanya untuk menatap ibunya sambil tersenyum dan berkata, "Maafin Rani, ya, Bu. Lain kali Rani bakal ngelakuin apa kata ibu, deh."

"Nah, gitu dong," kata Bu Rina sambil mengelus-elus kepala Rani. "Itu baru namanya anak Ibu."

Rani langsung memeluk ibunya, kemudian berkata lagi, "Maafin Rani, ya, Bu."

"Iya, Nak, nggak apa-apa. Satu lagi, Rani. Kalau memanggil Mbok Inah juga jangan cuma namanya aja. Panggil 'Mbok Inah' lebih baik, Nak."

"Kenapa, Bu, emangnya?"

"Karena Mbok Inah jauh lebih tua daripada Rani. Ibu juga kalau manggil pake sebutan 'Mbok'. Lebih sopan, Nak."
"Iya, Bu. Mulai sekarang Rani bakal manggil Mbok Inah dengan panggilan 'Mbok Inah'."

Bu Rina tersenyum lebar sambil mengelus-elus kepala anaknya. Kemudian, ia mencium kening anaknya itu, lalu memeluknya. Rani pun membalas dengan pelukan yang erat.

25.1.09

The Beatles' "In My Life" Lyrics

There are places I remember
All my life, though some have changed
Some forever, not for better
Some have gone and some remain
All these places have their moments
With lovers and friends I still can recall
Some are dead and some are living
In my life, I've loved them all

But of all these friends and lovers
There's no one compares with you
And these memories lose their meaning
When I think of love as something new
Though I know I'll never lose affection
For people and things that went before
I know I'll often stop and think about them
In my life, I love you more

Written by John Lennon & Paul McCartney

Taken from
www.lyrics.com