17.12.10

Allah Is Fair

Yupe. I think everyone knows that Allah is fair to every single thing He creates. He never let everyone hates each other. Why is that?

In our live, there's an opportunity that we like some people, while on the other hand we hates the rest. But trust me, there will come a moment when the people that you hate, even the most, will have good, or perhaps the best contribution in your life. Therefore, how could you hate those people?

What a life!

5.12.10

Naturalisasi = Sengsara Membawa Nikmat

Naturalisasi, sepenggal kata yang sebenarnya masih bersifat abu-abu bagi saya. Kalau saya lihat dari sebuah sumber, naturalisasi dapat bermakna pemberian status warga negara asli kepada seorang Warga Negara Asing (WNA). Tentunya ada beberapa syarat yang harus dipenuhi jika seorang WNA ingin menjadi warga negara asli.

Di Indonesia, terdapat beberapa syarat tertentu jika seorang WNA ingin menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Syarat-syaratnya bisa dilihat pada Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Tidak kompleks sebenarnya, hanya saja perlu menunggu waktu yang cukup lama bagi seorang WNA untuk bisa menjadi WNI: minimal 5 tahun berturut-turut tinggal di Indonesia atau 10 tahun tidak berturut-turut tinggal di Indonesia.

Pasal 9 ini mendapatkan perkecualian dalam Pasal 20 UU yang sama (setidaknya inilah anggapan saya setelah merunut satu per satu pasal yang ada dalam UU tersebut). Jika seorang WNA telah berjasa kepada NKRI atau terdapat suatu kepentingan negara, maka ia dapat menjadi WNI setelah adanya pertimbangan tertentu dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan demikian, adalah suatu hal yang mudah bagi seorang WNA untuk menjadi WNI.

Ternyata hal inilah yang dimanfaatkan oleh PSSI beberapa saat belakangan ini. Seperti yang sebagian besar dari kita ketahui, dalam Tim Nasional Senior PSSI yang sedang berlaga di AFF Suzuki Cup saat ini, ada beberapa pemain yang merupakan hasil dari proses naturalisasi ini, antara lain duet maut penyerang Christian Gonzalez dan Irfan Bachdim. Christian Gonzales yang asli Uruguay dan Irfan Bachdim yang keturunan Belanda berhasil menyumbangkan goal ke gawang lawan dalam 2 pertandingan di babak penyisihan Grup A AFF Suzuki Cup.

Masuknya 2 pemain ini membawa dampak dicadangkannya pemain langganan penyerang Tim Inti Nasional Senior PSSI, Bambang Pamungkas. Namun, pada kenyataannya saya memang melihat adanya dampak positif untuk nama baik Indonesia. Bayangkan saja, dengan tambahan beberapa pemain hasil proses naturalisasi, Indonesia bisa membantai Malaysia dan Laos, dengan permainan yang cukup bagus pula. Lumayan untuk level pertandingan Asia Tenggara (semoga akan sama bagusnya jika Tim Nasional kita berlaga di level Asia). Kenikmatan tersendiri bagi seluruh Warga Negara Indonesia tentunya, setelah beberapa lama sebelumnya menyaksikan Tim Nasional PSSI bagaikan macan kehilangan taringnya.

Tetap saja saya tidak dapat membayangkan apa yang dirasakan oleh seorang Bambang Pamungkas, atau pemain lainnya yang tergusur menjadi pemain cadangan. Di dalam hati nuraninya, Bambang mungkin saja merasakan ketidakadilan ketika dirinya tidak lagi menjadi bagian dari tim inti. Mungkin saja ia merasa lebih berhak membela Indonesia oleh sebab dialah yang warga negara asli Indonesia, bukan Christian Gonzalez ataupun Irfan Bachdim. Darah murni garuda mengalir dalam tubuhnya tanpa cela. Mungkin saja seorang Bambang Pamungkas merasakan kesengsaraan akibat tersisihnya dia dari posisi sebelumnya.

Namun, rupanya Bambang Pamungkas merasa ikhlas dengan hal tersebut. Mau tidak mau ia memang harus mengakui bahwa Christian dan Irfan memang lebih baik dari dirinya. Nama Indonesia pun menjadi harum oleh karena keduanya merupakan tulang punggung dari 2 kemenangan mudah yang diperoleh Indonesia dalam 2 pertandingan terakhir. Sudah seharusnya pula bahwa dengan keberadaan kedua rekannya itu di tim inti, justru membuka matanya bahwa ia harus bisa meningkatkan performansinya lebih dari yang sekarang. Semangat untuk Bambang, juga para pemain lainnya!

Jadi, masihkah naturalisasi menjadi kesengsaraan yang membawa nikmat? Tergantung dari sudut pandang setiap orang yang melihatnya. Sebagai WNI, saya mendukung proses naturalisasi ini, selama hal ini dapat membawa Indonesia menjadi lebih baik lagi.

BERKIBARLAH INDONESIAKU!

12.11.10

Cerita (1-5)

Anda mencondongkan badannya ke depan, bermaksud mendahului Rini untuk membukakan pintu cafe. Tangan kirinya mendorong pintu cafe ke arah luar, sementara tangan kanannya mempersilakan Rini untuk keluar terlebih dahulu.

"Thank you, Nda," kata Rini sambil kemudian terlebih dahulu keluar dari cafe.

Anda hanya menyunggingkan bibirnya sedikit. Setelah dirinya melangkah keluar dari tempat kerjanya, ia berjalan ke arah tempat parkir motor. Tangan kirinya merogoh saku celana jeans-nya, mengeluarkan kunci motor. Namun, ia mengurungkan niatnya untuk mengajak Rini berjalan-jalan dengan motornya. Tatapan matanya tetap mengarah ke depan.

Sementara itu, Rini mengikutinya dari belakang. Dirinya bertanya di dalam hati, "Gue baru aja kenal sama cowok ini. Tapi kenapa gue mau aja, ya, diajak dia jalan-jalan?"

Rini merasa heran dengan dirinya sendiri. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa ia mengiyakan ajakan Anda. Ia juga heran dengan cara Anda yang sedikit banyak mampu mencairkan kebekuan hatinya setelah apa yang diperbuat Ali seminggu yang lalu. Baru mengenalnya beberapa jam saja, Rini sudah merasakan kenyamanan saat berada di dekat Anda.

Lebih kurang lima menit lamanya Rini dan Anda melangkahkan kaki mereka dalam diam. Keduanya berjalan menyusuri deretan bangunan ruko yang berjejer di sepanjang jalan itu. Sinar mentari senja yang mengintip malu-malu dari sela-sela bangunan pun tak sanggup meredakan kesunyian yang tercipat di antara Rini dan Anda.

Anda, seperti biasa, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana jeans-nya. Pandangannya menelusuri sekitarnya sambil sesekali melirikkan matanya ke arah Rini. Sesekali pula terdengar siulan lagu-lagu kesukaannya dari mulutnya. Yang sebenarnya terjadi ialah Anda merasa grogi. Tak biasanya ia ditemani berjalan-jalan seperti saat ini. Oleh seorang perempuan pula.

Sementara itu, Rini bersikap lebih santai. Kedua belah tangannya tertangkup di depan perutnya. Pandangannya lebih mengarah ke deretan bangunan ruko di sekelilingnya. Tampak jelas dirinya begitu mengagumi bangunan-bangunan tersebut. Baru disadarinya bahwa selama ini ia tidak pernah sempat mengagumi kekokohan dan keunikan bangunan ruko-ruko di tempat itu. Arsitektur bangunan-bangunan itu memang menyerupai rumah-rumah yang dibangun pada masa kompeni Belanda masih meraja lela di Indonesia. Bahkan pintu-pintu dan kusen jendela-jendelanya pun masih menggunakan gaya arsitektur lama tersebut.

Anda mencoba membuka percakapan, "Kamu suka, ya, dengan bangunan-bangunan ini?"

Rini menoleh ke arah Anda sebelum menjawab, kemudian tersenyum. "Ayah saya arsitek, Nda," jawabnya. "Di rumah banyak banget buku-buku arsitektur gambar-gambar rumah, kebanyakan arsitektur gaya lama. Aku suka banget ngeliatin gambar rumah-rumah itu. Kesannya lebih anggun, tapi ga berarti lemah, tetap diiringi kekokohannya."

Anda pun menambahkan di dalam hati, "Ya, seanggun kamu, Rin. Kalau saja..."

"Kenapa kamu suka jalan-jalan di sini, Nda?" Rini bertanya pada Anda tiba-tiba.

Anda sedikit terkejut dengan pertanyaan Rini itu. Lamunannya buyar seketika. "Yaa.. ga jauh beda sama kamu, Rin. Kalau udah ngeliat bangunan-bangunan ini, pikiran aku biasanya langsung seger. Emang bangunannya indah banget."

"Ga heran kalau banyak orang yang suka ngabisin waktunya di sini, Nda," lanjut Rini.

Percakapan yang panjang terjalin di antara mereka. Sampai-sampai Anda lupa bahwa jam kerjanya belum usai. Ia masih harus kembali ke cafe dan melanjutkan pekerjaannya, setidaknya hingga 1 - 2 jam ke depan.

"Rin," kata Anda, "aku harus balik ke cafe. Nanti bisa-bisa bos aku ngomel-ngomel ke Aan kenapa aku ga balik-balik." Kalimat terakhir ini diakhiri Anda dengan senyuman yang memamerkan deretan giginya yang putih bersih dan rapi.

"Ga kerasa, Nda," Rini menanggapi Anda sambil melihat ke arah jam tangannya. "Sudah hampir Maghrib ternyata. Aku juga udah harus pulang ke rumah kalau ga mau ibuku khawatir."

"Rumah kamu di mana?" tanya Anda. "Saya anter kamu dulu aja sebelum balik ke cafe."

"Ga usah, Nda," sanggah Rini. "Rumah saya deket, kok, dari sini. Tinggal naik angkot sekali jalan." Telunjuk kanan Rini menunjuk satu angkutan umum yang sedang berhenti di depan halte menunggu penumpang.

"Ya udah," Anda berkata. "Saya balik duluan, ya, kalau gitu. Hati-hati, ya, Rin."

Rini tersenyum. "Thanks, Nda, udah mau nemenin saya."

"Sama-sama, Rin," Anda pun tersenyum, kemudian berjalan berbalik arah menuju ke cafe-nya.

Sementara itu, lama Rini memperhatikan Anda hingga ia tidak bisa lagi melihat sosoknya. Dalam lubuk hatinya, terdapat secercah harapan bahwa ia akan dapat bertemu dengan lelaki itu lagi. Setelah yakin bahwa ia sudah tidak dapat menangkap sosok Anda, barulah ia kemudian berjalan menuju angkutan umum di depan halte. Hatinya pun sudah bisa tersenyum kembali.

Bersambung

9.10.10

Love The Songs "Terlalu - Maliq &D'Essentials" and "Moving On - Andien"

I often hear both songs being played in the local radio. Love them both. Kindly find the lyrics:

Terlalu - Maliq & D'Essentials

Tak bisa terus menerus engkau menjaga
Perasaan hati yang terlena
Semakin lama semakin menyiksa

Reff:
Oh aku tak ingin terus terbelenggu
Dengan fikiran tak menentu
Sungguh aku tak bisa
Membuat ku terlalu
Jauh mengkhayalkan tentang kita
Ku disini sepertinya masih berharap
Meski tak mungkin ku menunjukkannya
Kenyataannya membuat ku sedikit gila.com

Terlalu lama kau buat aku menunggu
Setiap ku tanya kau pun tak tahu
Semua ini akan menuju


Moving On - Andien

Mungkin pernah ku menangis
Mungkin diriku pernah tersakiti
Namun diriku kini kembali
Coba nikmati indahnya dunia
Tiada lagi bayangan dirimu
Yang selalu mencoba menahanku

Reff:
Bersama mentari ku bernyanyi
Mewarnai hari-hari
Bersama pelangi ku menari
Menyambut bebasnya hati ini
Tiada lagi yang mampu menghalangi
Aku takkan berhenti melangkah
’Cause I’m moving on

ku percaya nanti kan ada saatnya

cinta kan datang padaku lagi

13.9.10

The Fact of Recent Indonesia-Malaysia Clash Doesn't Important, Does It?

When we don't know the facts, we better shut our mouth up. Yes, I have just known the fact about the Indonesia-Malaysia clash recently (thanks to Mr. LI). Should I tell you the fact?

Like what is written on the subject above, the fact doesn't important. What is important is the feeling that we as Indonesian should be more superior than our brothers and sisters. Why is that? Compared to Malaysia, our country has many more useful sources to build this country to be one of the best in the world. Therefore, we should win the clash with Malaysia. Are we arrogant? Yes, we are. But do we need to be that arrogant? Definitely no! Despite the fact that Malaysia people sometimes treat our labor very bad, we shouldn't do the same thing they did.

As we know, we have the same ancestors with Malaysia people. We too have been working together for a long time, especially in economy and employment. There are some Malaysian investments in our country and vice versa. Also, the two countries are in the same region (South-East Asia) and have been working together to strengthen the region from foreign countries' invasion. If there's a clash between us and them, it would be dangerous not only for the two countries, but also for South-East Asia as a whole since the two countries are two of South-East Asia's booster. Even the clash could be a threat for the Moslems also, as the two countries are known to be two of few influential Moslem country in the world.

Therefore, regardless we as Indonesian know the fact or not, we shouldn't say no to Malaysia. May God hears my pray.

13.8.10

Cap Atau Label Pada Manusia

Sebuah cap ataupun label yang tertera pada sebuah benda bisa merupakan pemberitahuan mengenai siapa pembuat benda itu. Misal, kalau pada sebuah meja terdapat label "Ligna Furniture", maka meja tersebut pasti dibuat oleh "Ligna Furniture".

Sebuah cap ataupun label yang tertera pada sebuah benda bisa juga merupakan perwakilan dari suatu lembaga. Misal, kalau pada selembar surat terdapat cap "YPI Al-Azhar", maka penulis surat tersebut pasti mengatasnamakan dirinya sebagai wakil dari "YPI Al-Azhar".

Sebuah cap ataupun label yang tertera pada sebuah benda bisa juga menggambarkan sifat atau perilaku benda. Misal, kalau pada suatu bungkus makanan terdapat label "Halal", maka makan yang terbungkus di dalamnya pasti "Halal" (insya Allah).

Sebuah cap atau label yang tertera pada sebuah benda bisa juga menggambarkan bahwa pada benda tersebut dikenakan perilaku sesuai dengan tulisan pada cap atau label tersebut. Misal, kalau pada seekor sapi kurban terdapat cap "Terjual" atau cap serupa dengan maksud demikian, maka sapi tersebut pasti telah terjual kepada pembelinya.

Lantas, bagaimana jika sebuah cap atau label dikenakan terhadap seseorang? Jika seseorang mendapat cap atau label "Pemalas", apakah sudah pasti orang itu bersifat pemalas? Jika seseorang memperoleh cap atau label "Penjahat", apakah sudah pasti ia seorang penjahat?

Belum tentu. Untungnya pada manusia, pemberian cap atau label belum tentu menggambarkan sifat atau perilaku orang tersebut. Cap atau label terhadap seseorang kebanyakan dikenakan oleh orang lain yang bisa jadi tidak terlalu mengenal orang tersebut. Padahal tak selamanya cap atau label itu benar.

Namun sayangnya, terkadang karena banyaknya orang-orang yang memberikan cap atau label yang sama terhadap seseorang, ataupun karena kedekatan hubungan orang lain pemberi cap atau label tersebut dengan kita, bisa jadi kita ikut-ikutan memberikan cap atau label yang sama terhadap orang tersebut. Beberapa waktu belakangan ini, saya beberapa kali menjadi korban yang ikut-ikutan memberikan cap atau label yang tidak benar tersebut kepada beberapa orang. Astaghfirullah...

Semoga saya masih sempat mengucapkan kata maaf kepada mereka yang telah menjadi korban. Hingga saat ini, saya belum juga bisa menemukan solusinya. Ternyata sulit untuk tidak memberikan cap atau label apapun terhadap seseorang. Harus lebih banyak berlatih membersihkan hati dan pikiran.

24.7.10

Cerita (1-4)

"Eh, Rin.." Anda akhirnya memberanikan diri memancing percakapan, "kamu percaya, gak? Biasanya kalau lagi sedih tapi masih di jam kerja, saya suka keluar sebentar buat jalan-jalan."

Rini pelan-pelan mengangkat pandangannya ke arah Anda. Ia mencoba menyunggingkan bibirnya sedikit, sambil tangan kanannya tetap memainkan sendok kecil yang digenggamnya.

Melihat Rini menanggapi ucapannya, Anda melanjutkan percakapan tersebut, "Kamu mau ikut nemenin saya?"

Rini agak terkejut mendengar pertanyaan Anda. Ia tak mengira Anda akan berbuat demikian. Bukannya menjawab, Rini malah menyendokkan sepotong kecil chocolate sensation lagi ke dalam mulutnya. Pandangannya kembali tertunduk ke bawah, tapi kali ini ia tetap menyunggingkan senyum kecil di bibirnya.

Anda tergelak melihat tingkah laku Rini. "Kalau kamu mau ketawa, ketawa aja. Mumpung ketawa belum dilarang."

Disinggung seperti itu, akhirnya Rini tergelak juga. Saking gelinya, ia sampai menutupi mulutnya dengan tangan kirinya.

"Kamu merhatiin saya sampai segitunya?" Rini balik bertanya.

Anda merasa salah tingkah. Bukannya menanggapi Rini, ia malah melanjutkan memakan chocolate sensation-nya yang masih tersisa setengah piring. Digoyang-goyangkannya kedua kakinya, bermaksud menghilangkan kegugupannya di depan Rini.

Dalam hati Anda berkata, "Aneh. Gue baru sekali ketemu dia. Kenapa perasaan gue langsung deg-degan gini, ya? Ketauan salting lagi. Aduuuuuh... malu banget gue."

Keadaan menjadi hening sejenak. Anda dan Rini masing-masing melanjutkan memakan chocolate sensation yang tersisa hingga habis.

Setelah menghabiskan chocolate sensation bagiannya, Anda bangkit dari kursi untuk mengambil air mineral untuk dirinya sendiri sembari berkata kepada Rini, "Jadi, kamu mau nemenin saya?"

Ditanya seperti itu, Rini malah balik bertanya sambil tersenyum, "Bukannya saya, ya, yang lagi sedih? Kenapa saya yang nemenin kamu?"

Anda tertawa mendengar pertanyaan Rini. "Salah pertanyaannya, ya?" tanya Anda. "Saya balik, deh, kalau gitu. Jadi, kamu mau saya temenin jalan-jalan?"

Rini, yang juga sudah menghabiskan chocolate sensation-nya, menyeruput sisa jus strawberry yang tersisa. Setelah habis, tangan kanannya mengambil selembar tisu kertas dari tempatnya, kemudian mengelap bibirnya dengan tisu itu.

Setelah itu, Rini menolehkan pandangannya ke arah Anda sambil tersenyum. Kedua tangannya menopangkan dagunya di atas meja. Dirinya masih tidak habis pikir mengapa lelaki yang baru saja dikenalnya ini dapat mencairkan kebekuan hatinya.

Merasa tidak mendapat jawaban dari Rini, Anda akhirnya berkata, "OK, saya ke belakang dulu sebentar, ya."

Anda berjalan ke arah ruang khusus staff yang tepat berada di belakang meja kasir. Tangan kanannya meraih salah satu gelas kosong dari dereta gelas yang ditelungkupkan di atas meja, kemudian tangan kirinya menggenggam wadah kaca berisi air mineral di sebelah deretan gelas. Ia menuangkan air mineral dari wadah kaca itu ke dalam gelas, kemudian menenggaknya hingga habis.

Setelah itu, Anda berbisik kepada Aan, rekan kerjanya yang tadi membantunya menyediakan chocolate sensation, yang sedang berdiri di dekat situ, "An, jangan biarin dia bayar jus dan kuenya ya. Biar gue yang nanggung ntar."

Yang diajak berbicara malah tersenyum lebar sambil menepuk lengan atas kiri rekannya.

Anda memasuki ruang khusus staff. Ia berjalan menuju locker yang bertuliskan namanya, "Andarista Hadiwibawa." Ia membuka locker tersebut dan perlahan melepaskan celemek seragam yang wajib dikenakannya apabila sedang dalam jam kerja, kemudian menggantungkannya di gantungan baju dengan rapi seperti semula.

Setelah menutup locker tersebut, Anda berjalan ke arah wastafel. Pandangannya mengarah ke cermin yang ada di atas wastafel. Ia tersenyum sejenak, membayangkan apa yang baru saja dilakukannya pada Rini. Tak lama kemudian, tangan kanannya mengeluarkan sisir kecil yang biasa ia letakkan di kantung belakang celananya, kemudian menyisir rambut ikalnya agar terlihat sedikit lebih rapi.

Setelah merasa penampilannya sudah cukup rapi, Anda berjalan keluar dari ruang khusus staff, langsung menuju meja kasir. Rupanya sedikit terjadi perdebatan antara Rini dengan Aan di sana. Rini bersikeras membayar jus strawberry dan chocolate sensation yang dihabiskan olehnya. Sementara itu, Aan berkali-kali mengatakan bahwa Rini tidak perlu membayarnya.

Anda mengangguk ke arah Aan, kemudian berkata kepada Rini, "Ya udah. Nanti kamu bayar ke saya aja sambil kita jalan-jalan."

Rini menatap Anda dengan pandangan aneh. "Biasanya juga pengunjung selalu membayar pesanannya sebelum keluar cafe, kan?"

"Sekarang lagi luar biasa, Rin," kata Anda sambil tersenyum. "Makanya kamu bayarnya nanti aja langsung ke saya. Sama aja, kan?"

"Tapi saya tetap harus bayar, ya?" tanya Rini sambil agak tergelak. "Kasian nanti cafe-nya kalau ga dibayar. Nanti kamu dan temen kamu ga bisa gajian."

Anda langsung menggiring Rini keluar cafe sambil berkata, "Beres, Bu," katanya.

Sambil menggiring Rini, Anda melirikkan pandangannya ke arah Aan. Tangan kanannya mengacungkan jempol ke arah Aan sambil tersenyum lebar dan mulutnya mengisyaratkan ucapan "thank you" kepada rekan kerjanya itu.

Bersambung

Previous Next

27.6.10

Why Don't Every "A" And "B" Become "AB"?

Just had a random thought in my mind when a song sung by Paul McCartney and Stevie Wonder crossed my mind.

Ebony and Ivory
Live together in perfect harmony
Side by side on my piano, keyboard,
Oh Lord, why don't we?

*written by Paul McCartney

So, why can't we just live together and give each other, thus we will survive our life?


29.5.10

Menaruh Telur-Telur Di Beberapa Wadah

Kata orang-orang, sebaiknya kita menaruh telur-telur yang kita punya tidak hanya dalam satu wadah saja.

Namun, untuk menaruh telur-telur lainnya di wadah yang lain, apakah pada wadah perlu ada rasa aman dan nyaman?

Ataukah hanya perlu mengambil resiko saja tanpa peduli wadah itu harus aman dan nyaman?

Just a random thought...

2.5.10

Selamat Hari Pendidikan Nasional

Seorang teman bertanya kepada saya dalam suatu perjalanan, "Al, kalo lo jadi si H yang dapet tawaran di kota S itu, gimana?"

Ada teman kami, H, yang baru saja mendapat offering dari salah satu perusahaan di Kota S, salah satu kota di Pulau Jawa. Offering-nya cukup menarik, berupa posisi yang lumayan menjanjikan diiringi dengan iming-iming gaji yang tidak bisa dibilang kecil.

Saya pun menjawab, "Kalo gue jadi dia, gue ambil kayanya. Lumayan banget soalnya."

Teman saya itu pun balik menimpali, "Iya, sih! Dengan gaji gede dan biaya hidup di sana yang ga terlalu besar, pasti bisa nabung banyak banget. Tapi, kalo gue jadi dia, gue bakal pikir-pikir lagi deh, Al."

"Emang kenapa, D?"

"Gue mikirin buat pendidikan anak gue ntar. Jakarta jauh lebih bagus pendidikannya dibandingin Kota S. Lebih kompetitif."

Terus terang, saya tidak berpikir ke arah sana sewaktu saya melontarkan jawaban saya di atas. Kemudian, saya pikir ulang lagi tentang jawaban teman saya itu. Tepatkah apa yang dikatakannya?

Dengan melihat kenyataan saat ini, jawaban teman saya memang masuk akal. Fakta yang saya tahu (walaupun saya belum pernah melihat data statistiknya), nilai rata-rata ujian negara setingkat SD, SLTP, dan SLTA untuk sekolah-sekolah di daerah Jakarta biasanya lebih tinggi jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah lainnya di luar ibukota Indonesia ini. Bahkan di daerah-daerah yang jauh jangkauannya dari Jakarta, nilai rata-ratanya jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata nasional. Sedih memang, tapi demikianlah kenyataannya.

Yang menjadi pertanyaan ialah mengapa hal ini dapat terjadi? Pertama, Jakarta bisa dibilang salah satu kota terbesar di Indonesia saat ini. Bagaimana tidak? Sebagai ibukota negara, Jakarta bisa dibilang memiliki fasilitas belajar dan mengajar cukup lengkap (kalau tidak mau dibilang paling lengkap) dibandingkan dengan kota-kota laiinya, apalagi kota-kota di luar Pulau Jawa. Hal ini adalah wajar, karena menurut saya yang namanya ibukota itu agak aneh kalau tidak dilengkapi dengan fasilitas dan infrastruktur yang memadai.

Kedua, adanya dukungan modal yang memadai dari berbagai pihak yang berkepentingan. Entah itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, ataupun pihak swasta yang bergerak di industri pendidikan. Kalau dari pihak swasta, saya kira tidak terlalu perlu dipusingkan. Begitu juga kalau dari pemerintah daerah, karena memang sudah sewajarnya pemerintah daerah memberikan porsi yang cukup besar untuk sektor pendidikan di daerahnya, demi memajukan bangsa dan negara. Yang agak mengherankan ialah kalau yang datang dari pemerintah pusat. Saya memang berasumsi di sini, bahwa karena Jakarta adalah ibukota negara, maka pemerintah mengalokasikan budget yang paling besar untuk kota ini, melalui pemerintah daerah. Bagaimana mekanisme persisnya saya kurang tahu. Akan tetapi, begitulah kesan yang saya tangkap selama ini.

Ketiga, kesadaran berpendidikan yang cukup tinggi di kota Jakarta lebih besar dibandingkan kota-kota lainnya di Indonesia, terutama jika dibandingkan dengan daerah Indonesia bagian timur. Bukan berarti saya mengecilkan warga Indonesia di luar Jakarta dan Pulau Jawa. Namun, pada umumnya anak-anak di luar Pulau Jawa tidak terlalu menganggap penting pendidikan. Yang penting bagi mereka ialah bagaimana agar keluarga mereka bisa menyambung hidup hari ini dan keesokan harinya.

Mungkin masih banyak faktor lainnya yang dapat menjadi latar belakang ketimpangan pendidikan di Indonesia. Namun, saya rasa cukup untuk membahas masalah ini dengan melihat ketiga faktor tersebut. Faktor pertama dan kedua menurut saya wajar terjadi. Adalah tidak mungkin bahwa sebagai ibukota negara, Jakarta menjadi anak tiri yang ke sekian di Indonesia. Untuk segala sesuatunya, Jakarta harus selalu menjadi si kota nomor 1 di Indonesia. Bahkan Batam pun tidak bisa mengalahkan Jakarta, walaupun Batam sudah menjadi salah satu kota maju berkat hadirnya industri-industri besar di sana.

Apakah tidak mungkin jika daerah lainnya mendapatkan hal yang sama dengan apa yang didapatkan Jakarta? Sangat mungkin! Setiap daerah itu berhak, kok, mendapatkan apa yang selama ini diperoleh Jakarta. Namun, mengapa hingga saat ini hanya Jakarta saja yang bisa seperti ini? Saya tidak bermaksud mengecilkan kota-kota lainnya. Hanya saja Jakarta memang terlihat lebih "wow" jika dibandingkan dengan Bandung misalnya, yang notabene tidak bisa dikatakan kota kecil. Di mana letak sila kelima dari Pancasila "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia"?

Kalau memang Jakarta mendapatkan segalanya adalah karena dia merupakan ibukota negara, tidak bisakah jika Indonesia melakukan rotasi ibukota negaranya? Cukup 5 tahun sekali, seperti Pemilu itu. Kalau memang pola berpikirnya ialah ibukota negara haruslah memiliki segala-galanya yang terbaik, paling tidak pemerintah pusat bisa berpikir untuk memindahkan ibukota negara ke kota lain. Saya tahu ini tak mungkin dilakukan. Di negara mana pun tidak mungkin ada negara yang berganti ibukota setiap beberapa periode sekali.

Lantas, bagaimana caranya agar bisa memberikan keadilan yang lebih merata bagi seluruh rakyat Indonesia? Mungkinkah jika memberlakukan alokasi dana pembangunan dari pemerintah pusat untuk setiap daerah secara berbanding terbalik? Dengan memberikan alokasi dana yang lebih besar untuk daerah yang lebih "tertinggal"? Hal ini mungkin bisa menjadi pemikiran di masa yang akan datang. Namun, apakah dengan hal ini saja sudah cukup?

Belum. Perlu juga untuk menyelesaikan masalah untuk faktor yang ketiga. Ya, perubahan pola pikir pada sebagian masyarakat Indonesia, bahwa pendidikan itu juga merupakan hal yang sangat penting untuk kehidupan mereka. Bahkan, pendidikan dapat dijadikan suatu media untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Bagaimana cara merubah pola pikir sebagian masyarakat Indonesia ini?

Tentunya setiap daerah pasti memiliki paling tidak sedikit orang-orang dengan potensi yang cukup baik di daerahnya. Sebagai contoh, Kalimantan punya Fadel Muhammad. Sulawesi ada Jusuf Kalla. Dan masih banyak orang-orang berpotensi lainnya di daerah masing-masing. Orang-orang seperti inilah yang sebisa mungkin diberdayakan untuk merubah pola pikir masyarakat di daerahnya, menanamkan kesadaran dalam diri mereka bahwa pendidikan itu sangat penting. Mereka perlu memprakarsai perbaikan dan peningkatan kuantitas dan juga kualitas pendidikan di daerahnya masing-masing. Bagaimana caranya?

Jika orang-orang berpotensi ini memiliki sokongan dana modal yang cukup, mereka dapat berinvestasi membangun berbagai fasilitas dan infrastruktur pendidikan di daerahnya. Jika orang-orang berpotensi ini tergolong orang yang berpengaruh, mereka bahkan dapat menggunakan pengaruh tersebut untuk mengajak masyarakat di daerahnya agar mereka dapat dan ingin mengenyam pendidikan yang setinggi-tingginya. Bukan hanya untuk kepentingan perbaikan taraf hidup keluarga mereka, tapi juga untuk membangun daerahnya sendiri agar di kemudian hari dapat menjadi lebih mandiri. Orang-orang berpotensi inilah justru yang diharapkan dapat melakukan hal-hal yang bersifat persuasif, sehingga masyarakat di daerahnya dapat termotivasi untuk juga mengutamakan pendidikan dalam kehidupan mereka, tidak sekedar menyambung hidup semata.

Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita semua. Di Hari Pendidikan ini, marilah kita bermimpi agar Indonesia dalam 25 tahun yang akan datang dapat memiliki ahli bedah syaraf, ahli nuklir, ahli biogenetik, ahli otomotif, dan sebagainya. Demi Indonesia Yang Lebih Baik!

25.4.10

The Beatles

Have I written about one of my favourite band? Yep! I do love The Beatles. I heard The Fab Four (the band's other name) for the first time when I was in kindergarten. My father liked to play its CDs. You know? That time I knew that I've already fallen in love with the song 'Hey Jude', one of many greatest songs sung by the band.

I forgot when The Beatles is known for the first time. The youngsters are firstly known as The Quarry Men. I forgot who the personnel were, but John Lennon, Paul McCartney, and George Harrison are already in the band. Then they changed the band name to The Silver Beatles. At last, the youngsters are known as The Beatles.
In the beginning, the formation of the group were George as lthe lead guitarist, John Lennon as the rhythm guitarist, Paul as the bassist, and Pete Best as the drummer. But then, Ringo Starr came to replace Pete. Sometimes John and Paul played piano. The four of them are capable of singing.

They released the first single 'Love Me Do' in 1962. You know what? All the gilrs fell in love with The Fab Four. Everytime the band showed up, they were screaming. The band's haircut is followed by every youngsters. Here is the picture of the band when it was known for the first time.


After that, everytime the band played in concerts, anywhere, the girls always followed them, full of hysteria. They were screaming for The Fab Four name. The time goes by, followed by many hits songs like 'A Hard Days Night', 'Help!', and many more, until one time in mid 1960's. The band decided not to play in front of the public anymore. They were affraid that they were famous not only because of their creativity, but only because of theirselves (they were so gorgeous and handsome, I know).

The Beatles then try to add another feature in their music. They once went to India. But not for a long time, one by one got back to England. First Ringo, and then followed by Paul and John. Only George who stayed longer in India. After this, many of the band hits are influenced by Indian music. This too was known as the starting of the band's break up.

In 1966/1967 (I forgot the exact year), they made a surprise by performing on the rooftop. They sang 'Get Back', 'Don't Let Me Down', and 'I've Got A Feeling'. That was the first performance after they decided to stop performing in front of the public. The fans were stunned.




As the time goes by, there were many fights in the band, mostly between John and Paul, who were known as the band's frontmen. John often didn't show up at the band's practice time when Paul was there. When John was there, it was Paul who was not coming.

At last in late 1960's, the band decided to break up. They were performing alone as theirselves, sometimes with their new band and sometimes alone. John with Plastic Ono Band, Paul with The Wings, George and Ringo by theirselves.

In 1980, the world was stunned by John's death. He was assassinated by Mark Chapman in front of his apartment. The Beatles fans felt blue suddenly. A tragical murder by a lunatic fan.

In mid 1990's, The Anthology album was released. The fans were hoping for the band reunion. But Paul, George, dan Ringo were not intended to do so, although they were happy that they could play together again. In the album, there were two songs which John's recorded voice was complemented by Paul, George, and Ringo's performance.

In 2001, George passed away after his struggle from cancer. With only Paul and Ringo left, there's no possibility of the band's reunion. But sometimes they play together and help each other in other's album release.

20.3.10

Cerita (1-3)

Coklat cair di dalam mulut Rini terasa semakin melumer seiring dengan mulai mencairnya suasana hatinya. Ingin rasanya berlama-lama menahan untuk tidak menelan cokelat cair itu.

"Kue coklatnya enak banget, Mas," Rini akhirnya memulai percakapan dengan kalimat agak panjang.

Anda menyodorkan tangan kanannya, mengajak bersalaman, "Panggil Anda aja. Itu resep asli dari saya, lho! Namanya Chocolate Sensation."

Rini menjabat tangan kanan Anda, "Rini."

"Iya," Anda melanjutkan ceritanya. "Ibu saya yang ngajarin bikin kue ini. Dulu, waktu saya coba buatannya pertama kali, saya langsung teriak, 'Enak banget, Ma! Ajarin Anda cara bikinnya, ya?' Langsung dia kasih resepnya ke saya."

Rini menyunggingkan senyum di bibirnya. Tak terasa dia sudah menyendokkan beberapa potong Chocolate Sensation ke dalam mulutnya. Namun, tatapan matanya masih mengisyaratkan kesedihan, sesuatu yang masih menjadi suara hatinya saat itu.

Anda tertawa perlahan sambil berkata,"Rin, kamu itu lucu, ya?"

Rini sedikit tergelak, kemudian balik bertanya, "Emangnya saya kenapa? Kayanya saya ga ngelakuin hal yang bikin orang lain ketawa, deh."

"Ga, sih," jawab Anda. "Kamu ketawa di luar. Tapi, sebenernya kamu masih keliatan sedih."

Rini langsung terdiam. Pandangannya kembali tertunduk ke piring Chocolate Sensation yang tinggal seperempat porsi.

Anda langsung merasa bersalah. "Maaf, Rin," katanya, "saya ga bermaksud untuk ngingetin kamu ke hal yang bikin kamu sedih."

"Ga apa-apa, Nda," jawab Rini sambil berusaha untuk tersenyum. "Bukan salah kamu, kok."

Suasana di meja itu sempat hening sejenak. Rini masih sibuk mengatur suasana hatinya yang masih campur aduk. Tangan kanannya memainkan sendok kecil untuk memakan Chocolate Sensation, sementara tangan kirinya masih menopang dagunya. Pandangannya masih tertuju ke bawah.

Anda pun terlihat salah tingkah, merasa tidak enak karena mengira dirinya telah melakukan suatu kesalahan. Berbeda dengan Rini, Anda malah memalingkan wajahnya, ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah, seolah-olah sedang mencari sesuatu. Kedua tangannya diselipkan ke dalam saku celananya, kebiasaannya kalau sedang gelisah.

Bersambung

Previous Next

17.3.10

Postingan Tidak Jelas

Allow me to use bahasa in its informal form.. Heheh..

Kemaren, waktu lagi jalan pulang setelah bersenang-senang sehari dengan beberapa temen, mereka semua kaya ngebujuk gue biar ga pulang ke rumah. Sebenernya gue ga tau apakah mereka serius atau becanda. Tapi gue beneran hampir tergoda buat pulang ke rumah esok harinya. Untungnya gue masih bisa nahan diri. Heheh..

Di tengah ajakan pulang itu, ada yang bilang (intinya kira-kira gini), "Ayo, Ya. Kasian kalo ibu kamu ngebukain pintu malem-malem. Bapak juga, kan dia besok pagi harus kerja."

Yes, he said that word that rings a bell in my head. Fiuhhhhh.. Langsung gue diem ga tau mau ngomong apa. Langsung inget kalo gue belum sempet jenguk dia lagi. Mungkin gue bakal nyempetin ngelakuin hal itu di sela-sela off gue minggu ini.

Hari ini, nyokap bilang ke gue kira-kira gini, "De', mumpung kamu lagi di rumah, ibu pengen dianterin buat ngurus STNK. Tapi ibu pengen beres-beres ruang kerja bapak juga."

Yes, she too rang the bell. Gue ga jawab apa-apa. Cuma pada akhirnya gue jalan menuju ruang kerja bokap. Dimulai dari ngeliat tumpukan-tumpukan kertas dan buku-buku di lantai, gue memilah-milah mana yang termasuk sampah dan mana yang kira-kira masih bisa dipake. Gue pisahin yang masih bisa dipake ke tumpukan deket lemari biar ntar langsung dimasukin ke dalamnya. Yang tergolong sampah gue taro di deket pintu.

Sampai gue liat foto bokap gue dengan baju toga kebesarannya, nemenin sang rektor foto bareng-bareng sama pejabat kampus lainnya juga, waktu acara wisudaan. Sebenernya gue masih kesel waktu liat unsur-unsur kampus itu. Tapi ya udah lah. Ga guna juga gue maki-maki mereka, even di dalem hati. Yang udah lewat biarin lewat.

And then, gue nemu semacem buku-buku lokakarya nasional penyusunan program mata kuliah TI. Damn! So my dad was one of important people behind the scene. Capek juga ya pasti jadi dia. Udah ngajar, jadi konsultan, jadi orang penting pula.

Minggu off ini ternyata bener-bener minggu buat dia. Ga apa-apa deh, sekali-sekali ngabisin waktu berdua. Semoga dia happy, gue pun senang. Hahahaha! Bener-bener postingan yang aneh.

24.1.10

Cerita (1-2)

Anda dengan sengaja berdeham, "Ehm... ehm...".

Masih hening tanpa suara. Bahkan Rini tidak menolehkan kepalanya sedikit pun ke arah asal suara. Pandangannya tetap tertunduk, seakan di meja itu tergambar sesuatu yang menarik perhatiannya. Padahal, alam pikirannya melayang entah kemana.

Tahu dirinya kembali tak digubris, Anda akhirnya bertindak nekad. Dengan perlahan, ia menarik kursi yang tepat berada di hadapan Rini, kemudian duduk di kursi itu. Tangan kanannya meletakkan sepiring chocolate sensation yang sedari tadi dipegang olehnya. Tak lama kemudian, dagunya telah tertopang oleh kedua tangannya.

"Ga lapar?" Anda memberanikan diri memulai percakapan.

Perlahan tatapan mata Rini bergerak, mulai dari arah meja yang kosong hingga menuju chocolate sensation yang ada di hadapannya. Kemudian, kepalanya menoleh ke arah Anda. Perlahan Rini menyunggingkan bibirnya, tersenyum ke arah Anda.

"Saya ga pesan apa-apa," Rini akhirnya menanggapi pertanyaan Anda.

Anda mengangkat tangan kirinya, menggaruk-garuk kepalanya yang ditumbuhi rambut hitam ikal. Pandangnya langsung tertuju ke sekeliling, terlihat bahwa dirinya salah tingkah.

Sementara itu, masih dengan tersenyum, Rini mendorong piring chocolate sensation ke arah Anda. "Mungkin kamu salah orang, ya?" tanyanya kepada Anda.

"Mungkin juga ga," jawab Anda dengan suara sedikit bergetar. "Kamu udah hampir satu jam di sini. Cuma pesan segelas jus strawberry tanpa makanan apa pun. Jadi, biar jusnya ga kesepian, saya tawarin kue cokelat ini buat nemenin."

Tangan kanan Anda mendorong piring chocolate sensation itu kembali ke depan Rini. Dagunya kembali tertopang, kali ini hanya oleh tangan kirinya, sementara tangan kanannya diletakkan di atas meja.

"Ini buat saya?" Rini bertanya kepada Anda.

Yang ditanya hanya menganggukkan kepalanya, tetap tertopang di tangan kirinya. Anda tersenyum, mengetahui pada akhirnya suasana bisa agak cair. Tatap matanya tak lepas dari wajah cantik Rini.

Dalam benaknya, Anda masih tidak habis pikir, mengapa perempuan itu bisa termenung seorang diri selama hampir satu jam di cafe tempatnya bekerja. Biasanya, seseorang yang pada awalnya duduk sendirian di cafe itu memerlukan waktu yang tidak lama hingga datang orang lain yang menemaninya menghabiskan waktu di sana. Namun, tampaknya tidak demikian adanya dengan Rini.

Rini masih tersenyum ketika ia berucap, "Terima kasih, ya. Saya emang lapar. Tapi, sebenarnya saya ga nafsu untuk makan apa pun."

Akal pikiran Anda mulai bekerja.

"Gimana kalau saya temenin?" tanya Anda, lebih berani dari sebelumnya.

Anda mengangkat tangan kanannya sambil mengarahkan pandangannya ke arah rekan kerjanya yang berada di balik meja etalase, mengisyaratkan agar rekan kerjanya mengambilkan sepiring chocolate sensation untuk dirinya. Rekan kerjanya paham. Dengan sigap, ia menyiapkan sepiring kue cokelat itu, kemudian membawanya ke arah Anda.

"Thank you, An," Anda berkata pada rekan kerjanya. Yang diajak bicara hanya mengedipkan sebelah matanya ke arah Anda.

Anda mulai memegang sendok kecil di atas piring chocolate sensation di hadapannya, kemudian menyendokkan sesuap kecil potongan kue itu ke dalam mulutnya. Ia mengunyah kue itu dengan perlahan sambil matanya tetap memandang ke arah Rini.

"Ayo dimakan kuenya," kata Anda. "Kan udah saya temenin."

Rini terdiam, masih tertegun oleh kesupelan Anda. Tampaknya Anda sedikit banyak telah berhasil mencairkan suasana hatinya yang tak menentu sejak seminggu yang lau. Perlahan ia ikut menyendokkan kue cokelat di hadapannya.

Bersambung...

Previous Next