Seorang teman bertanya kepada saya dalam suatu perjalanan, "Al, kalo lo jadi si H yang dapet tawaran di kota S itu, gimana?"
Ada teman kami, H, yang baru saja mendapat offering dari salah satu perusahaan di Kota S, salah satu kota di Pulau Jawa. Offering-nya cukup menarik, berupa posisi yang lumayan menjanjikan diiringi dengan iming-iming gaji yang tidak bisa dibilang kecil.
Saya pun menjawab, "Kalo gue jadi dia, gue ambil kayanya. Lumayan banget soalnya."
Teman saya itu pun balik menimpali, "Iya, sih! Dengan gaji gede dan biaya hidup di sana yang ga terlalu besar, pasti bisa nabung banyak banget. Tapi, kalo gue jadi dia, gue bakal pikir-pikir lagi deh, Al."
"Emang kenapa, D?"
"Gue mikirin buat pendidikan anak gue ntar. Jakarta jauh lebih bagus pendidikannya dibandingin Kota S. Lebih kompetitif."
Terus terang, saya tidak berpikir ke arah sana sewaktu saya melontarkan jawaban saya di atas. Kemudian, saya pikir ulang lagi tentang jawaban teman saya itu. Tepatkah apa yang dikatakannya?
Dengan melihat kenyataan saat ini, jawaban teman saya memang masuk akal. Fakta yang saya tahu (walaupun saya belum pernah melihat data statistiknya), nilai rata-rata ujian negara setingkat SD, SLTP, dan SLTA untuk sekolah-sekolah di daerah Jakarta biasanya lebih tinggi jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah lainnya di luar ibukota Indonesia ini. Bahkan di daerah-daerah yang jauh jangkauannya dari Jakarta, nilai rata-ratanya jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata nasional. Sedih memang, tapi demikianlah kenyataannya.
Yang menjadi pertanyaan ialah mengapa hal ini dapat terjadi? Pertama, Jakarta bisa dibilang salah satu kota terbesar di Indonesia saat ini. Bagaimana tidak? Sebagai ibukota negara, Jakarta bisa dibilang memiliki fasilitas belajar dan mengajar cukup lengkap (kalau tidak mau dibilang paling lengkap) dibandingkan dengan kota-kota laiinya, apalagi kota-kota di luar Pulau Jawa. Hal ini adalah wajar, karena menurut saya yang namanya ibukota itu agak aneh kalau tidak dilengkapi dengan fasilitas dan infrastruktur yang memadai.
Kedua, adanya dukungan modal yang memadai dari berbagai pihak yang berkepentingan. Entah itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, ataupun pihak swasta yang bergerak di industri pendidikan. Kalau dari pihak swasta, saya kira tidak terlalu perlu dipusingkan. Begitu juga kalau dari pemerintah daerah, karena memang sudah sewajarnya pemerintah daerah memberikan porsi yang cukup besar untuk sektor pendidikan di daerahnya, demi memajukan bangsa dan negara. Yang agak mengherankan ialah kalau yang datang dari pemerintah pusat. Saya memang berasumsi di sini, bahwa karena Jakarta adalah ibukota negara, maka pemerintah mengalokasikan budget yang paling besar untuk kota ini, melalui pemerintah daerah. Bagaimana mekanisme persisnya saya kurang tahu. Akan tetapi, begitulah kesan yang saya tangkap selama ini.
Ketiga, kesadaran berpendidikan yang cukup tinggi di kota Jakarta lebih besar dibandingkan kota-kota lainnya di Indonesia, terutama jika dibandingkan dengan daerah Indonesia bagian timur. Bukan berarti saya mengecilkan warga Indonesia di luar Jakarta dan Pulau Jawa. Namun, pada umumnya anak-anak di luar Pulau Jawa tidak terlalu menganggap penting pendidikan. Yang penting bagi mereka ialah bagaimana agar keluarga mereka bisa menyambung hidup hari ini dan keesokan harinya.
Mungkin masih banyak faktor lainnya yang dapat menjadi latar belakang ketimpangan pendidikan di Indonesia. Namun, saya rasa cukup untuk membahas masalah ini dengan melihat ketiga faktor tersebut. Faktor pertama dan kedua menurut saya wajar terjadi. Adalah tidak mungkin bahwa sebagai ibukota negara, Jakarta menjadi anak tiri yang ke sekian di Indonesia. Untuk segala sesuatunya, Jakarta harus selalu menjadi si kota nomor 1 di Indonesia. Bahkan Batam pun tidak bisa mengalahkan Jakarta, walaupun Batam sudah menjadi salah satu kota maju berkat hadirnya industri-industri besar di sana.
Apakah tidak mungkin jika daerah lainnya mendapatkan hal yang sama dengan apa yang didapatkan Jakarta? Sangat mungkin! Setiap daerah itu berhak, kok, mendapatkan apa yang selama ini diperoleh Jakarta. Namun, mengapa hingga saat ini hanya Jakarta saja yang bisa seperti ini? Saya tidak bermaksud mengecilkan kota-kota lainnya. Hanya saja Jakarta memang terlihat lebih "wow" jika dibandingkan dengan Bandung misalnya, yang notabene tidak bisa dikatakan kota kecil. Di mana letak sila kelima dari Pancasila "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia"?
Kalau memang Jakarta mendapatkan segalanya adalah karena dia merupakan ibukota negara, tidak bisakah jika Indonesia melakukan rotasi ibukota negaranya? Cukup 5 tahun sekali, seperti Pemilu itu. Kalau memang pola berpikirnya ialah ibukota negara haruslah memiliki segala-galanya yang terbaik, paling tidak pemerintah pusat bisa berpikir untuk memindahkan ibukota negara ke kota lain. Saya tahu ini tak mungkin dilakukan. Di negara mana pun tidak mungkin ada negara yang berganti ibukota setiap beberapa periode sekali.
Lantas, bagaimana caranya agar bisa memberikan keadilan yang lebih merata bagi seluruh rakyat Indonesia? Mungkinkah jika memberlakukan alokasi dana pembangunan dari pemerintah pusat untuk setiap daerah secara berbanding terbalik? Dengan memberikan alokasi dana yang lebih besar untuk daerah yang lebih "tertinggal"? Hal ini mungkin bisa menjadi pemikiran di masa yang akan datang. Namun, apakah dengan hal ini saja sudah cukup?
Belum. Perlu juga untuk menyelesaikan masalah untuk faktor yang ketiga. Ya, perubahan pola pikir pada sebagian masyarakat Indonesia, bahwa pendidikan itu juga merupakan hal yang sangat penting untuk kehidupan mereka. Bahkan, pendidikan dapat dijadikan suatu media untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Bagaimana cara merubah pola pikir sebagian masyarakat Indonesia ini?
Tentunya setiap daerah pasti memiliki paling tidak sedikit orang-orang dengan potensi yang cukup baik di daerahnya. Sebagai contoh, Kalimantan punya Fadel Muhammad. Sulawesi ada Jusuf Kalla. Dan masih banyak orang-orang berpotensi lainnya di daerah masing-masing. Orang-orang seperti inilah yang sebisa mungkin diberdayakan untuk merubah pola pikir masyarakat di daerahnya, menanamkan kesadaran dalam diri mereka bahwa pendidikan itu sangat penting. Mereka perlu memprakarsai perbaikan dan peningkatan kuantitas dan juga kualitas pendidikan di daerahnya masing-masing. Bagaimana caranya?
Jika orang-orang berpotensi ini memiliki sokongan dana modal yang cukup, mereka dapat berinvestasi membangun berbagai fasilitas dan infrastruktur pendidikan di daerahnya. Jika orang-orang berpotensi ini tergolong orang yang berpengaruh, mereka bahkan dapat menggunakan pengaruh tersebut untuk mengajak masyarakat di daerahnya agar mereka dapat dan ingin mengenyam pendidikan yang setinggi-tingginya. Bukan hanya untuk kepentingan perbaikan taraf hidup keluarga mereka, tapi juga untuk membangun daerahnya sendiri agar di kemudian hari dapat menjadi lebih mandiri. Orang-orang berpotensi inilah justru yang diharapkan dapat melakukan hal-hal yang bersifat persuasif, sehingga masyarakat di daerahnya dapat termotivasi untuk juga mengutamakan pendidikan dalam kehidupan mereka, tidak sekedar menyambung hidup semata.
Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita semua. Di Hari Pendidikan ini, marilah kita bermimpi agar Indonesia dalam 25 tahun yang akan datang dapat memiliki ahli bedah syaraf, ahli nuklir, ahli biogenetik, ahli otomotif, dan sebagainya. Demi Indonesia Yang Lebih Baik!
Ada teman kami, H, yang baru saja mendapat offering dari salah satu perusahaan di Kota S, salah satu kota di Pulau Jawa. Offering-nya cukup menarik, berupa posisi yang lumayan menjanjikan diiringi dengan iming-iming gaji yang tidak bisa dibilang kecil.
Saya pun menjawab, "Kalo gue jadi dia, gue ambil kayanya. Lumayan banget soalnya."
Teman saya itu pun balik menimpali, "Iya, sih! Dengan gaji gede dan biaya hidup di sana yang ga terlalu besar, pasti bisa nabung banyak banget. Tapi, kalo gue jadi dia, gue bakal pikir-pikir lagi deh, Al."
"Emang kenapa, D?"
"Gue mikirin buat pendidikan anak gue ntar. Jakarta jauh lebih bagus pendidikannya dibandingin Kota S. Lebih kompetitif."
Terus terang, saya tidak berpikir ke arah sana sewaktu saya melontarkan jawaban saya di atas. Kemudian, saya pikir ulang lagi tentang jawaban teman saya itu. Tepatkah apa yang dikatakannya?
Dengan melihat kenyataan saat ini, jawaban teman saya memang masuk akal. Fakta yang saya tahu (walaupun saya belum pernah melihat data statistiknya), nilai rata-rata ujian negara setingkat SD, SLTP, dan SLTA untuk sekolah-sekolah di daerah Jakarta biasanya lebih tinggi jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah lainnya di luar ibukota Indonesia ini. Bahkan di daerah-daerah yang jauh jangkauannya dari Jakarta, nilai rata-ratanya jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata nasional. Sedih memang, tapi demikianlah kenyataannya.
Yang menjadi pertanyaan ialah mengapa hal ini dapat terjadi? Pertama, Jakarta bisa dibilang salah satu kota terbesar di Indonesia saat ini. Bagaimana tidak? Sebagai ibukota negara, Jakarta bisa dibilang memiliki fasilitas belajar dan mengajar cukup lengkap (kalau tidak mau dibilang paling lengkap) dibandingkan dengan kota-kota laiinya, apalagi kota-kota di luar Pulau Jawa. Hal ini adalah wajar, karena menurut saya yang namanya ibukota itu agak aneh kalau tidak dilengkapi dengan fasilitas dan infrastruktur yang memadai.
Kedua, adanya dukungan modal yang memadai dari berbagai pihak yang berkepentingan. Entah itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, ataupun pihak swasta yang bergerak di industri pendidikan. Kalau dari pihak swasta, saya kira tidak terlalu perlu dipusingkan. Begitu juga kalau dari pemerintah daerah, karena memang sudah sewajarnya pemerintah daerah memberikan porsi yang cukup besar untuk sektor pendidikan di daerahnya, demi memajukan bangsa dan negara. Yang agak mengherankan ialah kalau yang datang dari pemerintah pusat. Saya memang berasumsi di sini, bahwa karena Jakarta adalah ibukota negara, maka pemerintah mengalokasikan budget yang paling besar untuk kota ini, melalui pemerintah daerah. Bagaimana mekanisme persisnya saya kurang tahu. Akan tetapi, begitulah kesan yang saya tangkap selama ini.
Ketiga, kesadaran berpendidikan yang cukup tinggi di kota Jakarta lebih besar dibandingkan kota-kota lainnya di Indonesia, terutama jika dibandingkan dengan daerah Indonesia bagian timur. Bukan berarti saya mengecilkan warga Indonesia di luar Jakarta dan Pulau Jawa. Namun, pada umumnya anak-anak di luar Pulau Jawa tidak terlalu menganggap penting pendidikan. Yang penting bagi mereka ialah bagaimana agar keluarga mereka bisa menyambung hidup hari ini dan keesokan harinya.
Mungkin masih banyak faktor lainnya yang dapat menjadi latar belakang ketimpangan pendidikan di Indonesia. Namun, saya rasa cukup untuk membahas masalah ini dengan melihat ketiga faktor tersebut. Faktor pertama dan kedua menurut saya wajar terjadi. Adalah tidak mungkin bahwa sebagai ibukota negara, Jakarta menjadi anak tiri yang ke sekian di Indonesia. Untuk segala sesuatunya, Jakarta harus selalu menjadi si kota nomor 1 di Indonesia. Bahkan Batam pun tidak bisa mengalahkan Jakarta, walaupun Batam sudah menjadi salah satu kota maju berkat hadirnya industri-industri besar di sana.
Apakah tidak mungkin jika daerah lainnya mendapatkan hal yang sama dengan apa yang didapatkan Jakarta? Sangat mungkin! Setiap daerah itu berhak, kok, mendapatkan apa yang selama ini diperoleh Jakarta. Namun, mengapa hingga saat ini hanya Jakarta saja yang bisa seperti ini? Saya tidak bermaksud mengecilkan kota-kota lainnya. Hanya saja Jakarta memang terlihat lebih "wow" jika dibandingkan dengan Bandung misalnya, yang notabene tidak bisa dikatakan kota kecil. Di mana letak sila kelima dari Pancasila "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia"?
Kalau memang Jakarta mendapatkan segalanya adalah karena dia merupakan ibukota negara, tidak bisakah jika Indonesia melakukan rotasi ibukota negaranya? Cukup 5 tahun sekali, seperti Pemilu itu. Kalau memang pola berpikirnya ialah ibukota negara haruslah memiliki segala-galanya yang terbaik, paling tidak pemerintah pusat bisa berpikir untuk memindahkan ibukota negara ke kota lain. Saya tahu ini tak mungkin dilakukan. Di negara mana pun tidak mungkin ada negara yang berganti ibukota setiap beberapa periode sekali.
Lantas, bagaimana caranya agar bisa memberikan keadilan yang lebih merata bagi seluruh rakyat Indonesia? Mungkinkah jika memberlakukan alokasi dana pembangunan dari pemerintah pusat untuk setiap daerah secara berbanding terbalik? Dengan memberikan alokasi dana yang lebih besar untuk daerah yang lebih "tertinggal"? Hal ini mungkin bisa menjadi pemikiran di masa yang akan datang. Namun, apakah dengan hal ini saja sudah cukup?
Belum. Perlu juga untuk menyelesaikan masalah untuk faktor yang ketiga. Ya, perubahan pola pikir pada sebagian masyarakat Indonesia, bahwa pendidikan itu juga merupakan hal yang sangat penting untuk kehidupan mereka. Bahkan, pendidikan dapat dijadikan suatu media untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Bagaimana cara merubah pola pikir sebagian masyarakat Indonesia ini?
Tentunya setiap daerah pasti memiliki paling tidak sedikit orang-orang dengan potensi yang cukup baik di daerahnya. Sebagai contoh, Kalimantan punya Fadel Muhammad. Sulawesi ada Jusuf Kalla. Dan masih banyak orang-orang berpotensi lainnya di daerah masing-masing. Orang-orang seperti inilah yang sebisa mungkin diberdayakan untuk merubah pola pikir masyarakat di daerahnya, menanamkan kesadaran dalam diri mereka bahwa pendidikan itu sangat penting. Mereka perlu memprakarsai perbaikan dan peningkatan kuantitas dan juga kualitas pendidikan di daerahnya masing-masing. Bagaimana caranya?
Jika orang-orang berpotensi ini memiliki sokongan dana modal yang cukup, mereka dapat berinvestasi membangun berbagai fasilitas dan infrastruktur pendidikan di daerahnya. Jika orang-orang berpotensi ini tergolong orang yang berpengaruh, mereka bahkan dapat menggunakan pengaruh tersebut untuk mengajak masyarakat di daerahnya agar mereka dapat dan ingin mengenyam pendidikan yang setinggi-tingginya. Bukan hanya untuk kepentingan perbaikan taraf hidup keluarga mereka, tapi juga untuk membangun daerahnya sendiri agar di kemudian hari dapat menjadi lebih mandiri. Orang-orang berpotensi inilah justru yang diharapkan dapat melakukan hal-hal yang bersifat persuasif, sehingga masyarakat di daerahnya dapat termotivasi untuk juga mengutamakan pendidikan dalam kehidupan mereka, tidak sekedar menyambung hidup semata.
Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita semua. Di Hari Pendidikan ini, marilah kita bermimpi agar Indonesia dalam 25 tahun yang akan datang dapat memiliki ahli bedah syaraf, ahli nuklir, ahli biogenetik, ahli otomotif, dan sebagainya. Demi Indonesia Yang Lebih Baik!
2 comments:
Aku pernah berdiskusi dengan Yangti-nya Ariq tentang pendidikan ini.. dan memang pendidikan di Indonesia ini masih perlu banyak sekali perkembangan.
Salah satu hal yang jadi topik diskusi kami waktu itu adalah, bahwa pendidikan yang menyeluruh tidak harus berarti bidang yang sama di seluruh area. Maksudnya begini..
Sewaktu aku kuliah di Australia, aku menemukan suatu hal yang menarik, di kampus-kampus dalam kota, bidang-bidang yang ditawarkan sudah bisa diterka; ekonomi, hukum, teknik, kedokteran.. bidang-bidang yang kita kenal sehari-hari.
Sementara itu, di kampus-kampus luar kota, di antara bidang-bidang yang banyak ditawarkan adalah bidang yang menjadi impian penduduk daerah atau penduduk asli; teknik pertanian, ekonomi pertanian, psikologi hewan, budaya aborigin.. bidang-bidang yang mungkin tidak terdengar menarik untuk masyarakat perkotaan.
Pemerintah kita perlu mempertimbangkan hal-hal ini dalam meningkatkan kualitas pendidikan di negri kita. Apa yang menjadi cita-cita dan prioritas/kebanggaan bagi masyarakat perkotaan seringkali sangat berbeda dengan masyarakat daerah karena memang kehidupan kedua masyarakat ini berbeda.
Bayangkan kalau Sekolah Kejuruan dan Universitas/Sekolah Tinggi yang berfokus pada bidang-bidang yang dibanggakan oleh masyarakat pedesaan/luar daerah didirikan di desa-desa atau kota-kota kecil? Bukankah hal itu akan meningkatkan kebanggaan dan minat masyarakat/siswa daerah? Karena mereka akan memiliki kesempatan untuk berkarya dan berprofesi sesuai dengan alam dan jiwa mereka..
Dengan rasa kebanggaan yang tinggi, siswa daerah akan memiliki rasa percaya diri yang jauh lebih tinggi dalam menekuni bidang yang mereka geluti.
Mungkin sudah saatnya, kita mempertimbangkan kompetensi spesifik, daripada kesetaraan hasil ujian dari beberapa mata pelajaran untuk menentukan kemajuan bangsa secara menyeluruh.
Hehe.. lagi browsing2 eh nyantol ke sini.
OOT sedikit niy menanggapi:
Jakarta jauh lebih bagus pendidikannya dibandingin Kota S. Lebih kompetitif.
Jkt emang kadang punya fasilitas pendidikan yang lebih bagus, tapi bukan berarti dia mencetak orang2 yang kompetitif & memiliki daya juang lebih tinggi. I've met people who came from a small village. bahkan ada beberapa temen gue yang mungkin satu2nya cewe di desanya yang mengecap pendidikan S1. and believe me they have more fighting spirit than those who came from the big city.. ^^
but overall I do agree to restructure the education system. Right now, education is still a privilege, those who have the money are destined to have better education.
Post a Comment