25.10.09

Alhamdulillah.. Masih Ada Orang Baik..

Tempat kerja saya yang jauh dari rumah tinggal menuntut saya untuk kos di dekat kantor. Alhasil, tiap akhir minggu wajib hukumnya bagi saya untuk pulang ke rumah. Kalau tidak, ibu saya pasti akan protes (saya membayangkan wajahnya yang bersungut-sungut ketika kami berdua sedang berbincang melalui jaringan telepon).

Jadi, setiap Senin pagi setelah menunaikan shalat Subuh, saya langsung menjejakkan kaki meninggalkan rumah demi mengejar bis kedua dari arah Blok M ke daerah Cikarang, syukur-syukur malah bila bisa duduk diam di atas bis pertama. Kalau saya sudah mendapat bis yang ketiga, saya bisa masuk kerja sekitar setengah jam lebih lama dibandingkan jika saya bisa memperoleh bis pertama atau kedua.

Dalam perjalanan ke Cikarang, baik sejak dari arah rumah ataupun sejak dari Blok M, kadang-kadang saya ditemani oleh seorang bapak yang kebetulan juga mengalami nasib seperti saya. Ia juga kerja di daerah Cikarang dan kos di sana, untuk kemudian setiap akhir minggu pulang ke rumah. Yang membedakan kami berdua hanyalah masalah keberuntungan. Saya beruntung bekerja sebagai pegawai biasa, sementara sang bapak bekerja sebagai pengemudi truk yang harus mengantarkan barang-barang pesanan pelanggan perusahaan tempatnya bekerja.

Saya seringkali mengobrol ngalor ngidul kalau bertemu dengan sang bapak (bodohnya saya tidak pernah menanyakan nama beliau sejak kami bertemu hingga saat ini). Sampai-sampai rasa kantuk saya hilang karena keasyikan mengobrol sepanjang perjalanan. Yang menjadi bahan obrolan pun macam-macam. Bisa tentang sepak bola, keluarganya, tempat kerja kami berdua, dan lain sebagainya.

Namun, ada satu hal yang menyebabkan saya merasa malu. Dalam sekian banyak pertemuan kami berdua di atas kendaraan yang membawa kami ke Cikarang, bisa dihitung dengan jari kedua tangan berapa kali saya mentraktir sang bapak membayar ongkos angkutan umum yang kami tumpangi. Padahal, seringkali saya yang terlebih dahulu merogoh kantung celana dan mengambil lembaran uang untuk membayar ongkos angkutan kami. Namun, dia tidak pernah menghendaki saya untuk membayari dirinya. Selalu sang bapak langsung memberika ongkos angkutan itu lebih dahulu kepada sang kondektur bis. Saya hanya bisa tersenyum dan tertunduk malu.

Pernah saya setengah memaksa untuk membayar ongkos saya sendiri (pada waktu itu uang saya memang hanya cukup untuk membayar bis dan ongkos ojek ke tempat kos, jadi saya tidak menawarkan untuk mentraktirnya). Sang bapak tetap menolak. Dia pernah mengatakan demikian, "Ga apa-apa, Mba. Nanti kalau Mba ada rejeki biar inget sama saya." Saya hanya bisa membatin dalam hati, "Amiiiin.."

Saya bersyukur, masih ada orang baik yang dengan ikhlas menolong orang lain. Padahal, mungkin orang lain itu tergolong lebih mampu daripada dirinya. Ya Allah, hamba mohon agar Engkau melimpahkan rahmat dan rezeki-Mu kepada sang bapak yang telah banyak menolong saya itu. Amiin..

Semoga kisah ini dapat menjadi inspirasi bagi kita semua untuk dapat bersikap baik terhadap sesama, tanpa terlebih dahulu beranggapan buruk terhadap mereka..