10.8.08

Kisah Ayah dan Anak Menunggu Bus

Suatu ketika seorang anak laki-laki sedang menunggu bus yang mengarah ke Blok M dari halte tempatnya berdiri. Halte itu berada di Jalan Metro Pondok Indah tidak jauh dari persimpangan lampu lalu lintas antara arah Pondok Indah, Kebayoran Lama, Ciputat, dan Fatmawati. Tangan anak itu digenggam erat oleh seorang lelaki yang hampir berusia separuh baya.

Sang anak bertanya kepada orang yang menggenggam erat tangannya, "Ayah, sekarang kita mau kemana?"

Lelaki paruh baya tadi menjawab tanpa melihat ke arah anaknya, "Kita mau ke rumah nenekmu, Mas."

Mata lelaki itu terus-menerus memandang ke arah lampu lampu lalu lintas, mengamati bus-bus yang akan melalui halte tempat ia dan anaknya menunggu sejak sekitar 10 menit yang lalu. Terkadang, ia melirik ke arah anaknya. Dilihatnya apakah anak laki-lakinya itu sudah lelah berdiri atau belum.

"Ayah, kok di halte bus ini sepi, ya?" anak laki-laki itu bertanya lagi kepada ayahnya.

"Lebih banyak orang yang nunggu di deket lampu merah," anak itu berkata lagi sambil menunjukkan tangannya ke arah orang-orang yang berkerumun di dekat persimpangan lampu lalu lintas.

"Kalo nunggu di sana cepet dapetnya, Mas," lelaki itu menatap wajah anak laki-lakinya yang penuh dengan peluh keringat.

Kemudian, ia merogoh saku kiri celananya, lalu menarik keluar sehelai sapu tangan bergaris-garis hitam-biru. Ia berjongkok rendah. Sapu tangan tadi diusapkannya ke wajah anaknya.

Sang anak kembali bertanya, "Tapi kok kita nunggu di sini, Yah?"

"Dimas, yang bener itu seharusnya orang-orang itu yang harus nunggu bus di sini, bukan kita yang nunggu di sana." jawab sang ayah sambil tersenyum.

Dalam hatinya, sang ayah tertawa geli. Ia membayangkan kebingungan yang sedang berkecamuk di pikiran anaknya. Anak itu memang masih terlalu kecil untuk dapat mengerti dan memahami hal-hal yang seharusnya dilakukan.

"Berarti kita ga bakal dapet tempat duduk ya, Yah, di bus nanti?" anak itu masih saja penasaran. Wajahnya masih memancarkan kebingungan, tanda belum mengerti.

Sang ayah kembali berdiri seusai mengusap wajah anaknya, "Yaa.. itu resikonya kalo kita nunggu di sini."

"Tapi di sini kan adem," kata lelaki paruh baya itu lagi. "Dimas ga bakal kepanasan. Tuh, ketutup atep halte bus," ia menatap ke atas sembari tangannya menunjuk atap halte bus.

Si anak pun tersenyum sambil menimpali ayahnya, "Oh iya, ya, Yah. Enakan di sini ya berarti?"

"Iya," jawab ayahnya lagi. "Nanti kalo Dimas sendirian nunggu bus, tunggu di halte bus aja, ya!"

"Beres, Yah!" jawab anak itu sambil mengacungkan kedua jempol tangannya.

Tak berapa lama kemudian, bus yang bertuliskan "Blok M" di kaca bagian depan atasnya pun bergerak mendekati halte bus. Sang ayah merentangkan tangan kirinya agar pengemudi bus itu menghentikan kendaraannya.

Setelah bus berhenti, sang ayah terburu-buru menggendong anak laki-lakinya, kemudian setengah berlari ke arah pintu samping bus. Sesaat kemudian, ayah dan anak tadi sudah duduk di kursi di bagian tengah bus.

"Ayah," kata anak laki-laki tadi, "kita dapet tempat duduk juga, ya, ternyata."

Sang ayah menatap wajah anaknya sambil tersenyum, "Iya, Mas. Berarti sama saja, kan? Mau nunggu bus di deket lampu merah atau di halte?"

"Iya, Yah," jawab anaknya sambil tersenyum. "Eh, lebih untung dong, Yah. Di halte bus kan lebih adem."

Sang ayah lalu mengacak-acak rambut anaknya sambil tertawa, "Hahaha! Anak Ayah emang paling pinter sedunia."

"Anak siapa dulu, dong!" timpal anaknya lagi. "Pak Nugraha!"

Ayah dan anak itu kemudian terus berbincang-bincang mengenai hal lainnya sambil menunggu bus sampai di tempat tujuan. Tidak berapa lama, bus yang mereka naiki tiba di Terminal Blok M. Mereka pun bergegas turun untuk berganti bus ke tempat nenek anak itu.

Cerita ini hanyalah sebuah karangan belaka. Terdapat kesesuaian nama tempat dengan beberapa daerah di Jakarta, Indonesia. Jika terdapat kesesuaian nama tokoh, maka penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya karena penulis sama sekali tidak bermaksud berpandangan negatif apa pun terhadap pembaca.

3 comments:

Menoedh said...

hehehe..iklan layanan masyarakat ya Mit?

Betul! kalo nunggu tuh di halte. Gue sampe sekarang alhamdulillah masih usaha ngingetin diri sendiri lho untuk nunggu di halte. padahal kan enak ya tertib teratur.

I'm goin to link you on my blog, k?

Unknown said...

monggo nut klo mau di-link :)

kaya jargon lo yg ada dimana2 itu lho --> segala sesuatu yang terjadi pasti ada alesannya.. knp orang lebih ga nunggu di halte?
1. males jalan ke halte yg jauh
2. mending nunggu di tempat bisnya muncul, sapa tau masih dapet tempat duduk

tapi gue kadang2 juga masih suka males ke halte nut.. cuma alesannya lebih ke yang nomer 2, heheh.. harusnya ga boleh ya? hihihi..

Mr. ws said...

sebenarnya inti dari cerita bukan berarti qta harus selalu menunggu bus di halte, bila d hayati cerita ini
lebih kepada cara orang tua mendidik anaknya sejak dini.. dari cara ayah menatap sang anak, membasuh keringat itulah wujut rasa kasih-sayang, perhatian. kemudian cara ayah menjawab setiap pertanyaan anaknya membuat anaknya berpikir n menentukan mana y lebih baik, karna tak selamanya y qta pandang cepat tapi aman n baik bt qta. Memang sih kesabaran itu cukup menyakitkan, tapi buahnya akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa membahagiakan.