Beberapa waktu lalu, seorang teman curhat ke saya tentang kondisi di tempat kerjanya. Ia bekerja di salah satu perusahaan ternama di pusat ibukota. Dia bercerita bahwa ada salah satu divisi di kantornya yang memiliki tingkat turnover pegawai yang cukup tinggi. Mengapa demikian? Karena dalam setahun bisa paling terjadi satu kali turnover. Selain itu, dari sekian banyak para calon pegawai tetap di divisi tersebut, hanya beberapa orang saja yang dapat lolos dari lubang jarum.
Kondisi tersebut membuat teman saya bertanya-tanya, memangnya sebegitu susahkah bekerja di divisi tersebut? Mengapa tingkat turnover-nya sangat tinggi jika dibandingkan dengan divisi lainnya? Mungkinkah bukan karena faktor beban kerja? Misalnya karena lingkungan kerja atau malah faktor atasan?
Saya jadi berpikir, mungkin inilah beberapa sisi kekurangan dari bekerja di tempat orang lain. Seseorang yang bekerja di suatu tempat yang bukan miliknya sendiri mau tidak mau harus tunduk pada atasannya. Selain itu, terkadang ia juga tidak dapat bekerja secara fleksibel akibat terbentur oleh aturan-aturan tertentu, bahkan malah terbentur oleh kepentingan-kepentingan pihak tertentu, di kantor tersebut. Kondisi ini menyebabkan ia kadang tidak bisa bebas berkreasi sesuai dengan kehendaknya.
Pada waktu itu, teman saya juga bercerita bahwa dia sering mendengar keluhan para pegawai perusahaan mengenai divisi tersebut. Beberapa kalimat inilah contohnya:
Kalimat pertama berkaitan dengan lingkungan kerja. Tidak bisa dipungkiri memang bahwa lingkungan kerja menjadi salah satu faktor kuat yang berpengaruh pada betah atau tidaknya seseorang bekerja di suatu tempat. Lingkungan kerja di sini lebih dikaitkan dengan partner kerja kita yang berada dalam satu divisi. Agar dapat mendukung kinerja seseorang dalam suatu perusahaan, diperlukan adanya partner kerja yang "enak". Enak dalam kerja sama tim, saling percaya dan memberikan dukungan satu sama lain, enak dijadikan teman curhat (ini tentatif sifatnya). Kalau lingkungan kerja dalam suatu perusahaan nyaman, dijamin seorang pegawai akan betah bekerja di tempat tersebut. Namun, sepertinya hal ini hanya berlaku untuk pegawai yang memiliki kebutuhan sosial yang cukup tinggi. Akan berbeda halnya dengan pegawai yang bertipe nonsosial.
Faktor lainnya yang tercermin pada kalimat kedua ialah beban kerja. Setiap divisi dalam suatu perusahaan memiliki beban kerja yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ketika telah tiba waktunya untuk pulang, para pegawai Divisi A tidak akan menyisakan satu pun pegawainya di perusahaan, tapi sebaliknya para pegawai Divisi B masih lengkap berada di tempat kerjanya masing-masing. Untuk orang yang sudah terbiasa dengan beban kerja yang tinggi, apalagi masih menyandang status single, tentu tidak terlalu bermasalah jika ia "diharuskan" pulang malam atau mungkin bekerja di luar jam kantor normal. Namun, hal ini tentu tidak akan berlaku untuk para pegawai yang telah berkeluarga misalnya, walaupun belum tentu juga demikian. Intinya, untuk faktor ini sifatnya lebih relatif untuk setiap orang dibandingkan faktor pertama.
Lain lagi dengan faktor ketiga, atasan. Setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda. Bahkan untuk orang yang sama pun, bisa jadi akan memiliki karakter yang berbeda antara ketika dia masih menjadi pegawai biasa dengan ketika dia telah memiliki bawahan. Ada tipe atasan yang membebaskan setiap bawahannya dalam bekerja. Ia mempercayai segala hal yang dilakukan oleh bawahannya selama mereka dapat mempertanggungjawabkannya. Ada juga tipe atasan yang seakan-akan selalu menyebabkan atmosfir emosi di divisinya meningkatkan, alias selalu mengeluarkan omelan kepada bawahannya. Apa yang dilakukan oleh bawahannya seakan-akan selalu ada yang dirasa kurang tepat menurutnya.
Para pegawai yang memiliki atasan dengan tipe pertama akan merasa lebih enjoy dalam bekerja. Namun, tipe atasan seperti ini akan kurang sesuai untuk orang yang cenderung santai karena bisa jadi ia jarang melakukan sesuatu yang "lebih" dari yang seharusnya. Buat apa? Toh dengan yang biasa-biasa saja, si boss tidak pernah complain.
Lain halnya dengan para pegawai yang memiliki tipe atasan yang kedua. Para atasan dengan tipe seperti ini kemungkinan hanya akan cocok dengan tipe pegawai yang cenderung cuek. Yang dimaksud cuek di sini ialah memasukkan semua omelan ke telinga kiri dan tanpa difilter ladi langsung dikeluarkan dari telingan kanan. Kalau yang terjadi adalah sebaliknya, pegawai tersebut mungkin akan merasa bahwa dirinya kurang dihargai karena apa yang dilakukannya selalu salah di mata atasannya. Pembunuhan karakter? Mungkin istilah tersebut bisa digunakan.
Kemudian, teman saya juga bercerita tentang perbincangannya dengan mantan pegawai yang pernah bekerja di divisi tersebut. Sebut saja X. X merasa bahwa ketika dia berada di divisi itu, bukan faktor beban kerja ataupun lingkungan kerja yang mengakibatkan dirinya hengkang dari perusahaan tersebut, melainkan lebih kepada faktor ketiga. Menurut teman saya, memang X ialah orang yang sedikit keras kepala dan sangat percaya diri. Hal ini sedikit banyak mirip dengan karakter atasannya. Mungkin karena adanya perbenturan karakter inilah timbul friksi antara sang atasan dengan X.
Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda lebih suka kerja sendiri atau dengan orang lain? Kalau bekerja di bawah ketiak orang lain, apakah ketiga faktor tersebut menjadi pertimbangan Anda juga dalam menentukan betah tidaknya Anda bekerja di tempat tersebut? Silakan kalau Anda ingin berkomentar.
Kondisi tersebut membuat teman saya bertanya-tanya, memangnya sebegitu susahkah bekerja di divisi tersebut? Mengapa tingkat turnover-nya sangat tinggi jika dibandingkan dengan divisi lainnya? Mungkinkah bukan karena faktor beban kerja? Misalnya karena lingkungan kerja atau malah faktor atasan?
Saya jadi berpikir, mungkin inilah beberapa sisi kekurangan dari bekerja di tempat orang lain. Seseorang yang bekerja di suatu tempat yang bukan miliknya sendiri mau tidak mau harus tunduk pada atasannya. Selain itu, terkadang ia juga tidak dapat bekerja secara fleksibel akibat terbentur oleh aturan-aturan tertentu, bahkan malah terbentur oleh kepentingan-kepentingan pihak tertentu, di kantor tersebut. Kondisi ini menyebabkan ia kadang tidak bisa bebas berkreasi sesuai dengan kehendaknya.
Pada waktu itu, teman saya juga bercerita bahwa dia sering mendengar keluhan para pegawai perusahaan mengenai divisi tersebut. Beberapa kalimat inilah contohnya:
- Diucapkan dengan mimik muka sedikit mencibir, "Oo.. divisi X ya? Gimana di sana? Betah?"
- Diucapkan dengan nada sinis, "Kalau di divisi x mah, saya ga akan pernah pulang tenggo."
- Diucapkan sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Bosnya aja yang orangnya susah."
Kalimat pertama berkaitan dengan lingkungan kerja. Tidak bisa dipungkiri memang bahwa lingkungan kerja menjadi salah satu faktor kuat yang berpengaruh pada betah atau tidaknya seseorang bekerja di suatu tempat. Lingkungan kerja di sini lebih dikaitkan dengan partner kerja kita yang berada dalam satu divisi. Agar dapat mendukung kinerja seseorang dalam suatu perusahaan, diperlukan adanya partner kerja yang "enak". Enak dalam kerja sama tim, saling percaya dan memberikan dukungan satu sama lain, enak dijadikan teman curhat (ini tentatif sifatnya). Kalau lingkungan kerja dalam suatu perusahaan nyaman, dijamin seorang pegawai akan betah bekerja di tempat tersebut. Namun, sepertinya hal ini hanya berlaku untuk pegawai yang memiliki kebutuhan sosial yang cukup tinggi. Akan berbeda halnya dengan pegawai yang bertipe nonsosial.
Faktor lainnya yang tercermin pada kalimat kedua ialah beban kerja. Setiap divisi dalam suatu perusahaan memiliki beban kerja yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ketika telah tiba waktunya untuk pulang, para pegawai Divisi A tidak akan menyisakan satu pun pegawainya di perusahaan, tapi sebaliknya para pegawai Divisi B masih lengkap berada di tempat kerjanya masing-masing. Untuk orang yang sudah terbiasa dengan beban kerja yang tinggi, apalagi masih menyandang status single, tentu tidak terlalu bermasalah jika ia "diharuskan" pulang malam atau mungkin bekerja di luar jam kantor normal. Namun, hal ini tentu tidak akan berlaku untuk para pegawai yang telah berkeluarga misalnya, walaupun belum tentu juga demikian. Intinya, untuk faktor ini sifatnya lebih relatif untuk setiap orang dibandingkan faktor pertama.
Lain lagi dengan faktor ketiga, atasan. Setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda. Bahkan untuk orang yang sama pun, bisa jadi akan memiliki karakter yang berbeda antara ketika dia masih menjadi pegawai biasa dengan ketika dia telah memiliki bawahan. Ada tipe atasan yang membebaskan setiap bawahannya dalam bekerja. Ia mempercayai segala hal yang dilakukan oleh bawahannya selama mereka dapat mempertanggungjawabkannya. Ada juga tipe atasan yang seakan-akan selalu menyebabkan atmosfir emosi di divisinya meningkatkan, alias selalu mengeluarkan omelan kepada bawahannya. Apa yang dilakukan oleh bawahannya seakan-akan selalu ada yang dirasa kurang tepat menurutnya.
Para pegawai yang memiliki atasan dengan tipe pertama akan merasa lebih enjoy dalam bekerja. Namun, tipe atasan seperti ini akan kurang sesuai untuk orang yang cenderung santai karena bisa jadi ia jarang melakukan sesuatu yang "lebih" dari yang seharusnya. Buat apa? Toh dengan yang biasa-biasa saja, si boss tidak pernah complain.
Lain halnya dengan para pegawai yang memiliki tipe atasan yang kedua. Para atasan dengan tipe seperti ini kemungkinan hanya akan cocok dengan tipe pegawai yang cenderung cuek. Yang dimaksud cuek di sini ialah memasukkan semua omelan ke telinga kiri dan tanpa difilter ladi langsung dikeluarkan dari telingan kanan. Kalau yang terjadi adalah sebaliknya, pegawai tersebut mungkin akan merasa bahwa dirinya kurang dihargai karena apa yang dilakukannya selalu salah di mata atasannya. Pembunuhan karakter? Mungkin istilah tersebut bisa digunakan.
Kemudian, teman saya juga bercerita tentang perbincangannya dengan mantan pegawai yang pernah bekerja di divisi tersebut. Sebut saja X. X merasa bahwa ketika dia berada di divisi itu, bukan faktor beban kerja ataupun lingkungan kerja yang mengakibatkan dirinya hengkang dari perusahaan tersebut, melainkan lebih kepada faktor ketiga. Menurut teman saya, memang X ialah orang yang sedikit keras kepala dan sangat percaya diri. Hal ini sedikit banyak mirip dengan karakter atasannya. Mungkin karena adanya perbenturan karakter inilah timbul friksi antara sang atasan dengan X.
Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda lebih suka kerja sendiri atau dengan orang lain? Kalau bekerja di bawah ketiak orang lain, apakah ketiga faktor tersebut menjadi pertimbangan Anda juga dalam menentukan betah tidaknya Anda bekerja di tempat tersebut? Silakan kalau Anda ingin berkomentar.
10 comments:
Hai..hai Mit...wuih, pembahasan yg mendalam skali ttg tmpt kerja..hehe =P
Klo mnrt gw itu mah balik lagi ke orgnya, gini yah...klo misalnya seseorang uda berani apply ke suatu perusahaan, let say perusahaan A. Seharusnya dia sudah mencari tau seluk beluk pekerjaan di perusahaan A tersebut. Setidaknya minimal job desc. dr pekerjaan yg dia mau apply, syukur2 dia ada kenalan disana jd bs tau suasana kerja disana jg.
Klo dia tetep melanjutkan utk apply pekerjaan disana, and ternyata diterima...ya sud, dia harus berusaha untuk mengadaptasikan diri dgn situasi disana pada awalnya dulu.
Klo misalnya dia ternyata kecewa karena beban kerja yg terlalu berat...nape jg dia apply tuh kerjaan at the first place. That person should've realized it earlier kan...terlalu selfish lah klo die ngomel2 karena beban pekerjaan yg terlalu berat. Mending dia apply pekerjaan yg lebi ringan klo ternyata dia emg ga suka dgn pekerjaan yg loadnya gede.
Klo karena lingkungan kerja and atasan, sebaiknya jg si individu harus cari2 info ttg 2 hal itu disana and dicocokin dgn karakter dia. Syukur2 klo dpt info yg jelas. Mnrt gw kadang manusia itu ga akan slalu dpt situasi yg enak mnrt dia, klo kyk gini opsi ada 2, either dia mau terima and berusaha utk beradaptasi, atau dia cabut dr tmpt itu. Jujur, kita ga bisa selalu expect org lain utk menyesuaikan diri dgn kita karena tiap org punya karakter yg uda kebentuk kan. Tinggal gmana masing2 individu bljr utk saling menghargai aja....
Klo ternyata si pekerja mrasa ga nyaman biarpun dia jg uda mengalah, ya sud, tdk usah dipaksakan. Carilah sesuatu dlm hidup yg membuat kita bahagia, jgn yg membuat kita malah jd stress. Hehehe, maap yah klo comment gw panjang =P
Setuju dengan pendapat pertama..
Plus.. pengalaman memang guru yang terbaik. Maksudku, setelah 'beredar' di dunia kerja beberapa lama, kita mulai bisa mengira-ngira, kapan kita harus 'menerima' kultur tempat kerja, dan kapan kita bisa 'mendobrak' tanpa menyulitkan orang lain.
Kalau performance kita di tempat kerja baik (sesuai atau di atas ekspektasi), lebih mudah untuk membuat 'benteng pribadi'.
Penghargaan terhadap diri sendiri juga harus bisa dilihat oleh atasan dan perusahaan. Kalau semua pekerjaan bisa kita selesaikan dengan efisien dalam batas jam kerja normal, maka tugas tambahan bisa kita negosiasikan penyelesaiannya dan atasan tidak bisa menolak kita untuk pulang tepat waktu sesuai dengan kontrak yang sudah disepakati.
Kalau sesekali memang ada situasi yang mengharuskan kita untuk tinggal di kantor lebih lama, kita sendiri juga harus bisa konsekuen dalam memberikan yang terbaik sesuai dengan kontrak yang kita tandatangani.
Lingkungan kerja yang baik adalah yang anggotanya saling menghargai, dan kita hanya bisa mengharapkan orang lain menghargai kita kalau kita sudah menghargai diri kita sendiri.
Jadi, tetapkanlah standar kerja pribadi yang efisien dan efektif untuk diri kita sendiri, agar orang lain pun bisa menghargai kita seperti kita memandang diri kita.
@Ilodye: Wuih.. jarang2 lo komen di blog gue lin. Hahaha!
Gue setuju klo sebelum seseorang apply kerja, dia harusnya udah tau seluk beluk kerjaannya bakal kaya apa. Termasuk lingkungan dan beban kerja yang bakal dia hadapin di calon tempat kerjanya itu. Tapi, balik lagi klo apa yang dibilang orang lain itu belum tentu sesuai dengan kenyataannya. Kenapa? Karena kadang pasti muncul perbedaan persepsi antara kedua orang itu (calon pelamar kerja dan pemberi info). Bisa aja kondisi yang menurut lo OK, ternyata ga OK buat gue. Berarti mau ga mau tergantung apakah seseorang bersedia bertahan dan beradaptasi atau ga kan ya? :D
Setuju ama paragraf terakhir lo. Carilah tempat di mana lo bisa ngerasa nyaman dan ga stress. :D
@Orcalion: Dengan pengalaman kerja yang udah seabrek, emang seharusnya seseorang udah bisa 'ngakalin' biar dia bisa kerja efektif dan efisien. Tapi kadang2 mba, orang dengan pengamalan seabrek ini juga punya ekspektasi tinggi agar orang lain bisa nyesuain ritme kerja mereka dengan dirinya. Kadang malah tanpa peduli apakah orang lain tersebut sanggup/ga. Mungkin tanpa disadarin pun dia nuntut banyak dari partner kerjanya.
Klo partner kerjanya ga bisa kaya gitu dan jadi terbebani gimana? Apakah ini artinya orang dengan pengalaman seabrek itu bisa disebut ga bisa bekerja sama dengan baik? Atau malah partnernya yang dibilang kaya gitu?
ampun,, in comment sepanjang isi postingan blog lo mith!
hmm,, bukan gw kan mith yang lo bahas?
*ga ngerasa kerja di pusat kota*
@Nda: Hahahaha! Iya tuw. Alin ama sepupu gue komen panjang bener.
Btw, emang lo ngerasa gitu Nda? Hahahaha! Sebenernya tempatnya ini sedikit ngarang siy. Tapi kejadiannya nyata kok. Heheheh..
Mitha,,wah gw lg ngerasain tuh yg namanya kemelut di tempat kerja :D
hehe, tapi balik ke pilihan masing2 pada akhirnya. kita yg tau bagaimana diri kita.
pstingan&komen2nya jd pertimbangan buat gw sekarang..:)
@Nanche: Hihihi.. Kenapa nda? Tapi baik2 saja kan dirimu?
Iya balik lagi ke setiap orang yang ngejalaninnya, gmn cara dia menghadapinya.. Hihihihi..
kerja itu ada 4 yg dicari :
1.uang/gaji yg lebih baik
2. atasan yg baik.
3. lingkungan kerja yg supportif
4. pekerjaannya sendiri yg memang kita sukai.
tinggal kompromi salah satu dari itu,uang bukan segalanya,terkadang kita bisa kompromi asal faktor2 lainnya terpenuhi.
salam kenal ya:)
@hadidot : Salam kenal jg Mas Didot. Setuju, memang dalam suatu lingkungan kerja, ke-4 hal itu ga bisa semuanya didapet. Harus ada kompromi antara 1 dg yg lainnya. Dari 4 hal itu, mana yg harus diprioritasin, tergantung dr tujuan hidup masing2 individu.
Post a Comment