This blog is about Aliya Paramitha's life, opinion, writings, etch. Some content in this blog is written in English and some in Indonesian.
17.12.10
Allah Is Fair
5.12.10
Naturalisasi = Sengsara Membawa Nikmat
12.11.10
Cerita (1-5)
9.10.10
Love The Songs "Terlalu - Maliq &D'Essentials" and "Moving On - Andien"
Moving On - Andien
ku percaya nanti kan ada saatnya
cinta kan datang padaku lagi
13.9.10
The Fact of Recent Indonesia-Malaysia Clash Doesn't Important, Does It?
13.8.10
Cap Atau Label Pada Manusia
Sebuah cap ataupun label yang tertera pada sebuah benda bisa juga merupakan perwakilan dari suatu lembaga. Misal, kalau pada selembar surat terdapat cap "YPI Al-Azhar", maka penulis surat tersebut pasti mengatasnamakan dirinya sebagai wakil dari "YPI Al-Azhar".
Sebuah cap ataupun label yang tertera pada sebuah benda bisa juga menggambarkan sifat atau perilaku benda. Misal, kalau pada suatu bungkus makanan terdapat label "Halal", maka makan yang terbungkus di dalamnya pasti "Halal" (insya Allah).
Sebuah cap atau label yang tertera pada sebuah benda bisa juga menggambarkan bahwa pada benda tersebut dikenakan perilaku sesuai dengan tulisan pada cap atau label tersebut. Misal, kalau pada seekor sapi kurban terdapat cap "Terjual" atau cap serupa dengan maksud demikian, maka sapi tersebut pasti telah terjual kepada pembelinya.
Lantas, bagaimana jika sebuah cap atau label dikenakan terhadap seseorang? Jika seseorang mendapat cap atau label "Pemalas", apakah sudah pasti orang itu bersifat pemalas? Jika seseorang memperoleh cap atau label "Penjahat", apakah sudah pasti ia seorang penjahat?
Belum tentu. Untungnya pada manusia, pemberian cap atau label belum tentu menggambarkan sifat atau perilaku orang tersebut. Cap atau label terhadap seseorang kebanyakan dikenakan oleh orang lain yang bisa jadi tidak terlalu mengenal orang tersebut. Padahal tak selamanya cap atau label itu benar.
Namun sayangnya, terkadang karena banyaknya orang-orang yang memberikan cap atau label yang sama terhadap seseorang, ataupun karena kedekatan hubungan orang lain pemberi cap atau label tersebut dengan kita, bisa jadi kita ikut-ikutan memberikan cap atau label yang sama terhadap orang tersebut. Beberapa waktu belakangan ini, saya beberapa kali menjadi korban yang ikut-ikutan memberikan cap atau label yang tidak benar tersebut kepada beberapa orang. Astaghfirullah...
Semoga saya masih sempat mengucapkan kata maaf kepada mereka yang telah menjadi korban. Hingga saat ini, saya belum juga bisa menemukan solusinya. Ternyata sulit untuk tidak memberikan cap atau label apapun terhadap seseorang. Harus lebih banyak berlatih membersihkan hati dan pikiran.
24.7.10
Cerita (1-4)
Rini pelan-pelan mengangkat pandangannya ke arah Anda. Ia mencoba menyunggingkan bibirnya sedikit, sambil tangan kanannya tetap memainkan sendok kecil yang digenggamnya.
Melihat Rini menanggapi ucapannya, Anda melanjutkan percakapan tersebut, "Kamu mau ikut nemenin saya?"
Rini agak terkejut mendengar pertanyaan Anda. Ia tak mengira Anda akan berbuat demikian. Bukannya menjawab, Rini malah menyendokkan sepotong kecil chocolate sensation lagi ke dalam mulutnya. Pandangannya kembali tertunduk ke bawah, tapi kali ini ia tetap menyunggingkan senyum kecil di bibirnya.
Anda tergelak melihat tingkah laku Rini. "Kalau kamu mau ketawa, ketawa aja. Mumpung ketawa belum dilarang."
Disinggung seperti itu, akhirnya Rini tergelak juga. Saking gelinya, ia sampai menutupi mulutnya dengan tangan kirinya.
"Kamu merhatiin saya sampai segitunya?" Rini balik bertanya.
Anda merasa salah tingkah. Bukannya menanggapi Rini, ia malah melanjutkan memakan chocolate sensation-nya yang masih tersisa setengah piring. Digoyang-goyangkannya kedua kakinya, bermaksud menghilangkan kegugupannya di depan Rini.
Dalam hati Anda berkata, "Aneh. Gue baru sekali ketemu dia. Kenapa perasaan gue langsung deg-degan gini, ya? Ketauan salting lagi. Aduuuuuh... malu banget gue."
Keadaan menjadi hening sejenak. Anda dan Rini masing-masing melanjutkan memakan chocolate sensation yang tersisa hingga habis.
Setelah menghabiskan chocolate sensation bagiannya, Anda bangkit dari kursi untuk mengambil air mineral untuk dirinya sendiri sembari berkata kepada Rini, "Jadi, kamu mau nemenin saya?"
Ditanya seperti itu, Rini malah balik bertanya sambil tersenyum, "Bukannya saya, ya, yang lagi sedih? Kenapa saya yang nemenin kamu?"
Anda tertawa mendengar pertanyaan Rini. "Salah pertanyaannya, ya?" tanya Anda. "Saya balik, deh, kalau gitu. Jadi, kamu mau saya temenin jalan-jalan?"
Rini, yang juga sudah menghabiskan chocolate sensation-nya, menyeruput sisa jus strawberry yang tersisa. Setelah habis, tangan kanannya mengambil selembar tisu kertas dari tempatnya, kemudian mengelap bibirnya dengan tisu itu.
Setelah itu, Rini menolehkan pandangannya ke arah Anda sambil tersenyum. Kedua tangannya menopangkan dagunya di atas meja. Dirinya masih tidak habis pikir mengapa lelaki yang baru saja dikenalnya ini dapat mencairkan kebekuan hatinya.
Merasa tidak mendapat jawaban dari Rini, Anda akhirnya berkata, "OK, saya ke belakang dulu sebentar, ya."
Anda berjalan ke arah ruang khusus staff yang tepat berada di belakang meja kasir. Tangan kanannya meraih salah satu gelas kosong dari dereta gelas yang ditelungkupkan di atas meja, kemudian tangan kirinya menggenggam wadah kaca berisi air mineral di sebelah deretan gelas. Ia menuangkan air mineral dari wadah kaca itu ke dalam gelas, kemudian menenggaknya hingga habis.
Setelah itu, Anda berbisik kepada Aan, rekan kerjanya yang tadi membantunya menyediakan chocolate sensation, yang sedang berdiri di dekat situ, "An, jangan biarin dia bayar jus dan kuenya ya. Biar gue yang nanggung ntar."
Yang diajak berbicara malah tersenyum lebar sambil menepuk lengan atas kiri rekannya.
Anda memasuki ruang khusus staff. Ia berjalan menuju locker yang bertuliskan namanya, "Andarista Hadiwibawa." Ia membuka locker tersebut dan perlahan melepaskan celemek seragam yang wajib dikenakannya apabila sedang dalam jam kerja, kemudian menggantungkannya di gantungan baju dengan rapi seperti semula.
Setelah menutup locker tersebut, Anda berjalan ke arah wastafel. Pandangannya mengarah ke cermin yang ada di atas wastafel. Ia tersenyum sejenak, membayangkan apa yang baru saja dilakukannya pada Rini. Tak lama kemudian, tangan kanannya mengeluarkan sisir kecil yang biasa ia letakkan di kantung belakang celananya, kemudian menyisir rambut ikalnya agar terlihat sedikit lebih rapi.
Setelah merasa penampilannya sudah cukup rapi, Anda berjalan keluar dari ruang khusus staff, langsung menuju meja kasir. Rupanya sedikit terjadi perdebatan antara Rini dengan Aan di sana. Rini bersikeras membayar jus strawberry dan chocolate sensation yang dihabiskan olehnya. Sementara itu, Aan berkali-kali mengatakan bahwa Rini tidak perlu membayarnya.
Anda mengangguk ke arah Aan, kemudian berkata kepada Rini, "Ya udah. Nanti kamu bayar ke saya aja sambil kita jalan-jalan."
Rini menatap Anda dengan pandangan aneh. "Biasanya juga pengunjung selalu membayar pesanannya sebelum keluar cafe, kan?"
"Sekarang lagi luar biasa, Rin," kata Anda sambil tersenyum. "Makanya kamu bayarnya nanti aja langsung ke saya. Sama aja, kan?"
"Tapi saya tetap harus bayar, ya?" tanya Rini sambil agak tergelak. "Kasian nanti cafe-nya kalau ga dibayar. Nanti kamu dan temen kamu ga bisa gajian."
Anda langsung menggiring Rini keluar cafe sambil berkata, "Beres, Bu," katanya.
Sambil menggiring Rini, Anda melirikkan pandangannya ke arah Aan. Tangan kanannya mengacungkan jempol ke arah Aan sambil tersenyum lebar dan mulutnya mengisyaratkan ucapan "thank you" kepada rekan kerjanya itu.
Bersambung
Previous Next
27.6.10
Why Don't Every "A" And "B" Become "AB"?
Ebony and Ivory
Live together in perfect harmony
Side by side on my piano, keyboard,
Oh Lord, why don't we?
*written by Paul McCartney
So, why can't we just live together and give each other, thus we will survive our life?
29.5.10
Menaruh Telur-Telur Di Beberapa Wadah
Namun, untuk menaruh telur-telur lainnya di wadah yang lain, apakah pada wadah perlu ada rasa aman dan nyaman?
Ataukah hanya perlu mengambil resiko saja tanpa peduli wadah itu harus aman dan nyaman?
Just a random thought...
2.5.10
Selamat Hari Pendidikan Nasional
Ada teman kami, H, yang baru saja mendapat offering dari salah satu perusahaan di Kota S, salah satu kota di Pulau Jawa. Offering-nya cukup menarik, berupa posisi yang lumayan menjanjikan diiringi dengan iming-iming gaji yang tidak bisa dibilang kecil.
Saya pun menjawab, "Kalo gue jadi dia, gue ambil kayanya. Lumayan banget soalnya."
Teman saya itu pun balik menimpali, "Iya, sih! Dengan gaji gede dan biaya hidup di sana yang ga terlalu besar, pasti bisa nabung banyak banget. Tapi, kalo gue jadi dia, gue bakal pikir-pikir lagi deh, Al."
"Emang kenapa, D?"
"Gue mikirin buat pendidikan anak gue ntar. Jakarta jauh lebih bagus pendidikannya dibandingin Kota S. Lebih kompetitif."
Terus terang, saya tidak berpikir ke arah sana sewaktu saya melontarkan jawaban saya di atas. Kemudian, saya pikir ulang lagi tentang jawaban teman saya itu. Tepatkah apa yang dikatakannya?
Dengan melihat kenyataan saat ini, jawaban teman saya memang masuk akal. Fakta yang saya tahu (walaupun saya belum pernah melihat data statistiknya), nilai rata-rata ujian negara setingkat SD, SLTP, dan SLTA untuk sekolah-sekolah di daerah Jakarta biasanya lebih tinggi jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah lainnya di luar ibukota Indonesia ini. Bahkan di daerah-daerah yang jauh jangkauannya dari Jakarta, nilai rata-ratanya jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata nasional. Sedih memang, tapi demikianlah kenyataannya.
Yang menjadi pertanyaan ialah mengapa hal ini dapat terjadi? Pertama, Jakarta bisa dibilang salah satu kota terbesar di Indonesia saat ini. Bagaimana tidak? Sebagai ibukota negara, Jakarta bisa dibilang memiliki fasilitas belajar dan mengajar cukup lengkap (kalau tidak mau dibilang paling lengkap) dibandingkan dengan kota-kota laiinya, apalagi kota-kota di luar Pulau Jawa. Hal ini adalah wajar, karena menurut saya yang namanya ibukota itu agak aneh kalau tidak dilengkapi dengan fasilitas dan infrastruktur yang memadai.
Kedua, adanya dukungan modal yang memadai dari berbagai pihak yang berkepentingan. Entah itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, ataupun pihak swasta yang bergerak di industri pendidikan. Kalau dari pihak swasta, saya kira tidak terlalu perlu dipusingkan. Begitu juga kalau dari pemerintah daerah, karena memang sudah sewajarnya pemerintah daerah memberikan porsi yang cukup besar untuk sektor pendidikan di daerahnya, demi memajukan bangsa dan negara. Yang agak mengherankan ialah kalau yang datang dari pemerintah pusat. Saya memang berasumsi di sini, bahwa karena Jakarta adalah ibukota negara, maka pemerintah mengalokasikan budget yang paling besar untuk kota ini, melalui pemerintah daerah. Bagaimana mekanisme persisnya saya kurang tahu. Akan tetapi, begitulah kesan yang saya tangkap selama ini.
Ketiga, kesadaran berpendidikan yang cukup tinggi di kota Jakarta lebih besar dibandingkan kota-kota lainnya di Indonesia, terutama jika dibandingkan dengan daerah Indonesia bagian timur. Bukan berarti saya mengecilkan warga Indonesia di luar Jakarta dan Pulau Jawa. Namun, pada umumnya anak-anak di luar Pulau Jawa tidak terlalu menganggap penting pendidikan. Yang penting bagi mereka ialah bagaimana agar keluarga mereka bisa menyambung hidup hari ini dan keesokan harinya.
Mungkin masih banyak faktor lainnya yang dapat menjadi latar belakang ketimpangan pendidikan di Indonesia. Namun, saya rasa cukup untuk membahas masalah ini dengan melihat ketiga faktor tersebut. Faktor pertama dan kedua menurut saya wajar terjadi. Adalah tidak mungkin bahwa sebagai ibukota negara, Jakarta menjadi anak tiri yang ke sekian di Indonesia. Untuk segala sesuatunya, Jakarta harus selalu menjadi si kota nomor 1 di Indonesia. Bahkan Batam pun tidak bisa mengalahkan Jakarta, walaupun Batam sudah menjadi salah satu kota maju berkat hadirnya industri-industri besar di sana.
Apakah tidak mungkin jika daerah lainnya mendapatkan hal yang sama dengan apa yang didapatkan Jakarta? Sangat mungkin! Setiap daerah itu berhak, kok, mendapatkan apa yang selama ini diperoleh Jakarta. Namun, mengapa hingga saat ini hanya Jakarta saja yang bisa seperti ini? Saya tidak bermaksud mengecilkan kota-kota lainnya. Hanya saja Jakarta memang terlihat lebih "wow" jika dibandingkan dengan Bandung misalnya, yang notabene tidak bisa dikatakan kota kecil. Di mana letak sila kelima dari Pancasila "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia"?
Kalau memang Jakarta mendapatkan segalanya adalah karena dia merupakan ibukota negara, tidak bisakah jika Indonesia melakukan rotasi ibukota negaranya? Cukup 5 tahun sekali, seperti Pemilu itu. Kalau memang pola berpikirnya ialah ibukota negara haruslah memiliki segala-galanya yang terbaik, paling tidak pemerintah pusat bisa berpikir untuk memindahkan ibukota negara ke kota lain. Saya tahu ini tak mungkin dilakukan. Di negara mana pun tidak mungkin ada negara yang berganti ibukota setiap beberapa periode sekali.
Lantas, bagaimana caranya agar bisa memberikan keadilan yang lebih merata bagi seluruh rakyat Indonesia? Mungkinkah jika memberlakukan alokasi dana pembangunan dari pemerintah pusat untuk setiap daerah secara berbanding terbalik? Dengan memberikan alokasi dana yang lebih besar untuk daerah yang lebih "tertinggal"? Hal ini mungkin bisa menjadi pemikiran di masa yang akan datang. Namun, apakah dengan hal ini saja sudah cukup?
Belum. Perlu juga untuk menyelesaikan masalah untuk faktor yang ketiga. Ya, perubahan pola pikir pada sebagian masyarakat Indonesia, bahwa pendidikan itu juga merupakan hal yang sangat penting untuk kehidupan mereka. Bahkan, pendidikan dapat dijadikan suatu media untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Bagaimana cara merubah pola pikir sebagian masyarakat Indonesia ini?
Tentunya setiap daerah pasti memiliki paling tidak sedikit orang-orang dengan potensi yang cukup baik di daerahnya. Sebagai contoh, Kalimantan punya Fadel Muhammad. Sulawesi ada Jusuf Kalla. Dan masih banyak orang-orang berpotensi lainnya di daerah masing-masing. Orang-orang seperti inilah yang sebisa mungkin diberdayakan untuk merubah pola pikir masyarakat di daerahnya, menanamkan kesadaran dalam diri mereka bahwa pendidikan itu sangat penting. Mereka perlu memprakarsai perbaikan dan peningkatan kuantitas dan juga kualitas pendidikan di daerahnya masing-masing. Bagaimana caranya?
Jika orang-orang berpotensi ini memiliki sokongan dana modal yang cukup, mereka dapat berinvestasi membangun berbagai fasilitas dan infrastruktur pendidikan di daerahnya. Jika orang-orang berpotensi ini tergolong orang yang berpengaruh, mereka bahkan dapat menggunakan pengaruh tersebut untuk mengajak masyarakat di daerahnya agar mereka dapat dan ingin mengenyam pendidikan yang setinggi-tingginya. Bukan hanya untuk kepentingan perbaikan taraf hidup keluarga mereka, tapi juga untuk membangun daerahnya sendiri agar di kemudian hari dapat menjadi lebih mandiri. Orang-orang berpotensi inilah justru yang diharapkan dapat melakukan hal-hal yang bersifat persuasif, sehingga masyarakat di daerahnya dapat termotivasi untuk juga mengutamakan pendidikan dalam kehidupan mereka, tidak sekedar menyambung hidup semata.
Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita semua. Di Hari Pendidikan ini, marilah kita bermimpi agar Indonesia dalam 25 tahun yang akan datang dapat memiliki ahli bedah syaraf, ahli nuklir, ahli biogenetik, ahli otomotif, dan sebagainya. Demi Indonesia Yang Lebih Baik!
25.4.10
The Beatles
After that, everytime the band played in concerts, anywhere, the girls always followed them, full of hysteria. They were screaming for The Fab Four name. The time goes by, followed by many hits songs like 'A Hard Days Night', 'Help!', and many more, until one time in mid 1960's. The band decided not to play in front of the public anymore. They were affraid that they were famous not only because of their creativity, but only because of theirselves (they were so gorgeous and handsome, I know).
The Beatles then try to add another feature in their music. They once went to India. But not for a long time, one by one got back to England. First Ringo, and then followed by Paul and John. Only George who stayed longer in India. After this, many of the band hits are influenced by Indian music. This too was known as the starting of the band's break up.
In 1966/1967 (I forgot the exact year), they made a surprise by performing on the rooftop. They sang 'Get Back', 'Don't Let Me Down', and 'I've Got A Feeling'. That was the first performance after they decided to stop performing in front of the public. The fans were stunned.
As the time goes by, there were many fights in the band, mostly between John and Paul, who were known as the band's frontmen. John often didn't show up at the band's practice time when Paul was there. When John was there, it was Paul who was not coming.
At last in late 1960's, the band decided to break up. They were performing alone as theirselves, sometimes with their new band and sometimes alone. John with Plastic Ono Band, Paul with The Wings, George and Ringo by theirselves.
In 1980, the world was stunned by John's death. He was assassinated by Mark Chapman in front of his apartment. The Beatles fans felt blue suddenly. A tragical murder by a lunatic fan.
In mid 1990's, The Anthology album was released. The fans were hoping for the band reunion. But Paul, George, dan Ringo were not intended to do so, although they were happy that they could play together again. In the album, there were two songs which John's recorded voice was complemented by Paul, George, and Ringo's performance.
In 2001, George passed away after his struggle from cancer. With only Paul and Ringo left, there's no possibility of the band's reunion. But sometimes they play together and help each other in other's album release.
20.3.10
Cerita (1-3)
17.3.10
Postingan Tidak Jelas
Di tengah ajakan pulang itu, ada yang bilang (intinya kira-kira gini), "Ayo, Ya. Kasian kalo ibu kamu ngebukain pintu malem-malem. Bapak juga, kan dia besok pagi harus kerja."
Yes, he said that word that rings a bell in my head. Fiuhhhhh.. Langsung gue diem ga tau mau ngomong apa. Langsung inget kalo gue belum sempet jenguk dia lagi. Mungkin gue bakal nyempetin ngelakuin hal itu di sela-sela off gue minggu ini.
Hari ini, nyokap bilang ke gue kira-kira gini, "De', mumpung kamu lagi di rumah, ibu pengen dianterin buat ngurus STNK. Tapi ibu pengen beres-beres ruang kerja bapak juga."
Yes, she too rang the bell. Gue ga jawab apa-apa. Cuma pada akhirnya gue jalan menuju ruang kerja bokap. Dimulai dari ngeliat tumpukan-tumpukan kertas dan buku-buku di lantai, gue memilah-milah mana yang termasuk sampah dan mana yang kira-kira masih bisa dipake. Gue pisahin yang masih bisa dipake ke tumpukan deket lemari biar ntar langsung dimasukin ke dalamnya. Yang tergolong sampah gue taro di deket pintu.
Sampai gue liat foto bokap gue dengan baju toga kebesarannya, nemenin sang rektor foto bareng-bareng sama pejabat kampus lainnya juga, waktu acara wisudaan. Sebenernya gue masih kesel waktu liat unsur-unsur kampus itu. Tapi ya udah lah. Ga guna juga gue maki-maki mereka, even di dalem hati. Yang udah lewat biarin lewat.
And then, gue nemu semacem buku-buku lokakarya nasional penyusunan program mata kuliah TI. Damn! So my dad was one of important people behind the scene. Capek juga ya pasti jadi dia. Udah ngajar, jadi konsultan, jadi orang penting pula.
24.1.10
Cerita (1-2)
Masih hening tanpa suara. Bahkan Rini tidak menolehkan kepalanya sedikit pun ke arah asal suara. Pandangannya tetap tertunduk, seakan di meja itu tergambar sesuatu yang menarik perhatiannya. Padahal, alam pikirannya melayang entah kemana.
Tahu dirinya kembali tak digubris, Anda akhirnya bertindak nekad. Dengan perlahan, ia menarik kursi yang tepat berada di hadapan Rini, kemudian duduk di kursi itu. Tangan kanannya meletakkan sepiring chocolate sensation yang sedari tadi dipegang olehnya. Tak lama kemudian, dagunya telah tertopang oleh kedua tangannya.
"Ga lapar?" Anda memberanikan diri memulai percakapan.
Perlahan tatapan mata Rini bergerak, mulai dari arah meja yang kosong hingga menuju chocolate sensation yang ada di hadapannya. Kemudian, kepalanya menoleh ke arah Anda. Perlahan Rini menyunggingkan bibirnya, tersenyum ke arah Anda.
"Saya ga pesan apa-apa," Rini akhirnya menanggapi pertanyaan Anda.
Anda mengangkat tangan kirinya, menggaruk-garuk kepalanya yang ditumbuhi rambut hitam ikal. Pandangnya langsung tertuju ke sekeliling, terlihat bahwa dirinya salah tingkah.
Sementara itu, masih dengan tersenyum, Rini mendorong piring chocolate sensation ke arah Anda. "Mungkin kamu salah orang, ya?" tanyanya kepada Anda.
"Mungkin juga ga," jawab Anda dengan suara sedikit bergetar. "Kamu udah hampir satu jam di sini. Cuma pesan segelas jus strawberry tanpa makanan apa pun. Jadi, biar jusnya ga kesepian, saya tawarin kue cokelat ini buat nemenin."
Tangan kanan Anda mendorong piring chocolate sensation itu kembali ke depan Rini. Dagunya kembali tertopang, kali ini hanya oleh tangan kirinya, sementara tangan kanannya diletakkan di atas meja.
"Ini buat saya?" Rini bertanya kepada Anda.
Yang ditanya hanya menganggukkan kepalanya, tetap tertopang di tangan kirinya. Anda tersenyum, mengetahui pada akhirnya suasana bisa agak cair. Tatap matanya tak lepas dari wajah cantik Rini.
Dalam benaknya, Anda masih tidak habis pikir, mengapa perempuan itu bisa termenung seorang diri selama hampir satu jam di cafe tempatnya bekerja. Biasanya, seseorang yang pada awalnya duduk sendirian di cafe itu memerlukan waktu yang tidak lama hingga datang orang lain yang menemaninya menghabiskan waktu di sana. Namun, tampaknya tidak demikian adanya dengan Rini.
Rini masih tersenyum ketika ia berucap, "Terima kasih, ya. Saya emang lapar. Tapi, sebenarnya saya ga nafsu untuk makan apa pun."
Akal pikiran Anda mulai bekerja.
"Gimana kalau saya temenin?" tanya Anda, lebih berani dari sebelumnya.
Anda mengangkat tangan kanannya sambil mengarahkan pandangannya ke arah rekan kerjanya yang berada di balik meja etalase, mengisyaratkan agar rekan kerjanya mengambilkan sepiring chocolate sensation untuk dirinya. Rekan kerjanya paham. Dengan sigap, ia menyiapkan sepiring kue cokelat itu, kemudian membawanya ke arah Anda.
"Thank you, An," Anda berkata pada rekan kerjanya. Yang diajak bicara hanya mengedipkan sebelah matanya ke arah Anda.
Anda mulai memegang sendok kecil di atas piring chocolate sensation di hadapannya, kemudian menyendokkan sesuap kecil potongan kue itu ke dalam mulutnya. Ia mengunyah kue itu dengan perlahan sambil matanya tetap memandang ke arah Rini.
"Ayo dimakan kuenya," kata Anda. "Kan udah saya temenin."
Rini terdiam, masih tertegun oleh kesupelan Anda. Tampaknya Anda sedikit banyak telah berhasil mencairkan suasana hatinya yang tak menentu sejak seminggu yang lau. Perlahan ia ikut menyendokkan kue cokelat di hadapannya.
Bersambung...
Previous Next